Senin, 15 Desember 2008

Ihsan


Apa sih sebenarnya makna ‘ihsan’ itu? Kita sering sekali mendengar kata ini, atau membicarakannya pada orang lain. Tapi sebenarnya apa ya maknanya?
Kenapa sangat penting membahas arti kata ‘ihsan’? Karena sebagaimana diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw (dalam hadits Bukhari 1 : 47), ‘Ihsan’ adalah salah satu dari tiga komponen yang membentuk ad-diin kita, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Jika satu komponen saja tidak ada, atau tidak paham, maka kita belum ber-diin dengan sempurna.
Jika kita sudah paham makna ‘ihsan’, kita juga akan bisa meraba maksud makna kata-kata turunannya seperti ‘hasan’, ‘ahsan’, ‘muhsin’, ‘hasanah’, dan lain sebagainya.
Umumnya kita secara awam mengartikan kata ‘ihsan’, ‘hasan’, ‘ahsan’ dan semua kata yang berkaitan, dihubungkan dengan kata ‘baik’ sebagaimana tertulis di kamus bahasa Arab. Jika ‘ihsan’ di sana diartikan ‘baik’, maka ‘muhsin’ adalah ‘orang yang baik’, atau ‘orang yang suka berbuat baik’, dan seterusnya. Oke, itu tidak salah sih. Tapi apa bedanya ‘ihsan’ atau ‘hasan’, dengan ‘khair’ (baik)? Masalahnya, istilah Arab dalam Qur’an itu sama sekali bukan bahasa Arab sehari-hari, sehingga beresiko tidak akurat, kabur atau terlalu umum jika diterjemahkan melalui kamus bahasa Arab sehari-hari.Contoh, Q. S. Al-Baqarah [2] : 195:
“Innallaha yuhibbul-muhsiniin.”
Sesungguhnya Allah mencintai Al-Muhsiniin.
Jika ‘Al-muhsiniin’ diterjemahkan menjadi ‘orang-orang yang berbuat baik’ sesuai kamus bahasa Arab sehari-hari, maka artinya menjadi ’sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.’ Bener? Bener sih, nggak salah juga. Tapi kurang presisi, kurang akurat jadinya. Terlalu umum. ‘Berbuat baik’ itu sebaik apa? Koruptor, jika habis korupsi berbuat baik, apa iya jadi dicintai Allah? Pelacur, pezina, perampok, juga banyak yang baik, atau berbuat baik. Apa iya mereka dicintai Allah? Segampang itu?
Atau kita deh, yang merasa diri kita sebagai orang baik. Apa kita dicintai Allah, seperti cinta Allah pada para kekasih-Nya? Kok kita yang merasa sebagai ‘orang baik’ ini mau khusyu’ saja susah, kalau berdoa jarang makbul, hehe… Kok ya masih berani merasa diri menjadi bagian dari para muhsiniin sih… hehehe. Atau kadang-kadang kalau kebetulan pas baca ayat tentang ‘orang-orang yang berbuat baik’ pasti ngerasanya Qur’an lagi bicara tentang kita, hehehehe….
Contoh lain, sebuah hadits:
‘Dari Abu Darda`, Nabi Saw bersabda “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam mizan (timbangan kebajikan pada hari kiamat) selain dari husnul khuluq (diterjemahkan: akhlak yang baik).” (H.R. Abu Daud 4799 dan Tirmizi 2002 - Hadits hasan shahih).
‘Husnul Khuluq’, jika diterjemahkan menjadi ‘akhlak yang baik’, ya benar sih (‘husn’ = baik). Tapi sebaik apa? Koruptor atau perampok di contoh tadi, masak iya jika gemar korupsi atau gemar merampok tapi berakhlak baik, maka timbangan kebaikannya di hari kiamat nanti menjadi paling berat? Coba tanya ke nurani kita sendiri.
Jadi ihsan, hasan, muhsin, dan sebagainya itu walaupun memang hubungannya dengan ‘baik’, tapi jika konteksnya adalah kualitas sebuah sikap, maka ‘ihsan’ itu baik yang sekualitas apa? ‘Baik’ yang seberapa baik?
Kalau kita kembali ke hadits Bukhari 1 : 47 yang paling atas tadi, di sana Jibril as. dan Rasulullah Saw. mengajarkan makna ihsan pada para sahabatnya. Hadits ini adalah hadits yang terkenal sekali, dan saya yakin sahabat sekalian sudah pernah membacanya. Jadi disini haditsnya saya ringkas saja, karena aslinya hadits tersebut sangat panjang.
Jadi ketika itu, Rasulullah saw sedang bersama para sahabatnya. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang sangat tampan yang tidak mereka kenal wajahnya. Ia berpakaian sangat bersih, seperti bukan orang yang baru tiba dari perjalanan, walaupun dari wajahnya para sahabat tahu bahwa ia bukanlah penduduk sekitar. Lalu lelaki itu bertanya pada Rasulullah Saw., “Apakah iman itu?” Rasulullah menjawab dengan menyebutkan rukun iman.
Lelaki itu bertanya lagi, “Apakah Islam itu?” Dan Rasulullah pun menjawab dengan menyebutkan rukun Islam. Pada pertanyaan yang ketiga, lelaki itu bertanya, “Apakah ihsan itu?”
Jawab Rasulullah,
“Anta’budallah ka annaka taraah, fa’illam takun taraah, fa’innahu yaraak.”
“Engkau mengabdi kepada Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Setelah ini ada beberapa dialog lagi, kemudian lelaki itu pergi. Ketika para sahabat mencarinya dan tidak berhasil menemukannya, dengan keheranan mereka menyampaikannya pada Rasulullah karena lelaki itu menghilang demikian cepat. Jawab Rasulullah, “Dia Jibril, yang datang untuk mengajarkan manusia (para sahabatnya) tentang diin mereka.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari.
Nah, itulah ‘ihsan’. Ihsan kualitas yang pertama, adalah sebuah kualitas pengabdian seperti ketika kita telah melihat-Nya. Sedangkan ihsan kualitas yang kedua, adalah sekualitas ketika kita telah merasakan sepenuhnya bahwa Dia melihat kita, meskipun kita tidak (belum) melihat-Nya.
Jika kita telah melihat-Nya, mana bisa kita tidak mencintai-Nya? Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya? Mana bisa kita tidak rindu kepada-Nya, tidak ingin tunduk kepada-Nya? Dia yang tak terbatas, Mahaindah, Mahatinggi, Mahapengasih, Mahapenyayang. Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya dan tidak mencintai-Nya, jika sudah mengenal-Nya? Bayangkan, bagaimana kira-kira kualitas pengabdian dari seseorang yang sudah merasa takjub kepada-Nya. Itu Ihsan dalam kualitasnya yang pertama.
Kalau pun kita belum melihat-Nya, ihsan kualitas kedua adalah ketika dalam setiap nafas kita, setiap saat, sepanjang jasad ini masih bernafas dan jantung masih berdetak, tidak sesaat pun diri kita pernah lepas dari kesadaran bahwa Dia melihat kita. Kesadaran yang tidak pernah putus, biar kita sedang dalam saat orgasme sekalipun. Kita ‘tenggelam’ dalam sebuah pemahaman bahwa kita ada dalam pengawasan-Nya, penjagaan-Nya, perlindungan-Nya, tuntunan-Nya. Padahal Dia adalah dzat yang tidak mengantuk, tidak tidur, dan tidak lalai.
Nah, seseorang dengan kualitas ihsan yang seperti ini, masih mungkinkah dia bermaksiat? Masih mungkinkah dia berkeluh kesah, tidak bersyukur? Mana bisa dia bertindak tidak santun dan sembarangan? Apa bisa orang yang sudah ada dalam penjagaan-Nya dan perlindungan-Nya sepenuhnya seperti ini, menjadi murung dan tidak bahagia? Kira-kira, bagaimana akhlaq dari orang yang ada di ihsan kualitas kedua ini?
Jadi kenapa Allah mencintai para Al-Muhsiniin, seperti disebut di Al-Baqarah [2] : 195 tadi? Jelas, karena mereka memiliki kualitas pengabdian yang seperti itu, lebih dari sekedar ‘orang baik’ atau ’suka berbuat baik’. Dan, Ihsan atau hasan lebih dari sekedar khair (baik).
Sekarang pun lebih jelas makna hadits dari Abu Daud dan Tirmidzi tadi, bahwa ‘tidak ada yang lebih berat dalam mizan, selain husnul-khuluq (akhlaq yang ihsan)’. Tentu saja, karena husnul-khuluq adalah akhlaq yang terbangun dalam diri seseorang karena seseorang melihat-Nya, atau setidaknya akhlaq yang terbangun adalah karena dia telah sepenuhnya ‘tenggelam’ dalam kesadaran bahwa Allah melihatnya. Husnul-khuluq bukan sekedar ‘akhlaq yang baik’.
Nah, dari arti ‘ihsan’ yang diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw, kita sudah bisa memahami makna kata ‘muhsin’ dan ‘husn’ dengan sedikit lebih presisi lagi, bukan sekedar bermakna makna ‘baik’ dalam pengertian umum. Sekarang, kita bisa juga meraba makna kata-kata turunannya dalam Al-Qur’an, misalnya ‘ahsan’, ‘hasan’, ‘hasanah’, dan seterusnya.
Jadi kalau Qur’an menyebut ‘orang-orang yang ihsan‘ atau muhsiniin, itu kita bukan? Lha monggo kita tanya ke nurani kita masing-masing.
Oh ya, kita sekarang jadi lebih mengerti makna dari kalimat “kematian yang ‘husnul-khatimah’” kan? (‘khatam’ : akhir, selesai, penutup)
Semoga kita dijadikan-Nya termasuk kedalam Al-Muhsiniin dan diberi-Nya kematian yang husnul-khatimah.
Semoga bermanfaat.Wassalaamu ‘alaikum Wr. Wb.
Herry Mardian

Senin, 10 November 2008

TAUBAT NASUHA


Taubat adalah kembali kepada Allah setelah melakukan maksiat. Taubat marupakan rahmat Allah yang diberikan kepada hamba-Nya agar mereka dapat kembali kepada-Nya.Agama Islam tidak memandang manusia bagaikan malaikat tanpa kesalahan dan dosa sebagaimana Islam tidak membiarkan manusia berputus asa dari ampunan Allah, betapa pun dosa yang telah diperbuat manusia. Bahkan Nabi Muhammad telah membenarkan hal ini dalam sebuah sabdanya yang berbunyi: "Setiap anak Adam pernah berbuat kesalahan/dosa dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah mereka yang bertaubat (dari kesalahan tersebut)."Di antara kita pernah berbuat kesalahan terhadap diri sendiri sebagaimana terhadap keluarga dan kerabat bahkan terhadap Allah. Dengan segala rahmatnya, Allah memberikan jalan kembali kepada ketaatan, ampunan dan rahmat-Nya dengan sifat-sifat-Nya yang Maha Penyayang dan Maha Penerima Taubat. Seperti diterangkan dalam surat Al Baqarah: 160 "Dan Akulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."Taubat dari segala kesalahan tidaklah membuat seorang terhina di hadapan Tuhannya. Hal itu justru akan menambah kecintaan dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya karena sesungguhnya Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Sebagaimana firmanya dalam surat Al-Baqarah: 222, "Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri."Taubat dalam Islam tidak mengenal perantara, bahkan pintunya selalu terbuka luas tanpa penghalang dan batas. Allah selalu menbentangkan tangan-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya. Seperti terungkap dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Abu musa Al-Asy`ari: "SesungguhnyaAllah membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat kesalahan pada malam hari sampai matahari terbit dari barat."Merugilah orang-orang yang berputus asa dari rahmat Allah dan membiarkan dirinya terus-menerus melampai batas. Padahal, pintu taubat selalu terbuka dan sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya karena sesungguhnya Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang.Tepatlah kiranya firman Allah dalam surat Ali Imran ayat: 133, "Bersegaralah kepada ampunan dari tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang menafkahkan hartanya baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui."Taubat yang tingkatannya paling tinggi di hadapan Allah adalah "Taubat Nasuha", yaitu taubat yang murni. Sebagaimana dijelaskan dalam surat At-Tahrim: 66, "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bresamanya, sedang cahaya mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan 'Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kamidan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu'".Taubat Nasuha adalah bertaubat dari dosa yang diperbuatnya saat ini dan menyesal atas dosa-dosa yang dilakukannya di masa lalu dan brejanji untuk tidak melakukannya lagi di masa medatang. Apabila dosa atau kesalahan tersebut terhadap bani Adam (sesama manusia), maka caranya adalah dengan meminta maaf kepadanya. Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat, "Apakah penyesalan itu taubat?", "Ya", kata Rasulullah (H.R. Ibnu Majah). Amr bin Ala pernah mengatakan: "Taubat Nasuha adalah apabila kamu membenci perbuatan dosa sebagaimana kamu pernah mencintainya".Di bulan pengampunan, Ramadhan yang "Syahrul Maghfirah" ini adalah saat yang tepat untuk kita bertaubat. Bagi yang sudah bertaubat mari memperbarui taubatnya dan yang belum taubat mari bergegas kepada ampunan Allah. 10 hari kedua bulan Ramadhan merupakan masa maghfirah (ampunan) sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis riwayat Abu Haurairah "Ramadhan, awalnya Rahmah, pertengahannya Maghfirah, dan akhirnya dibebaskan dari api neraka" (H.R. Ibnu Huzaimah).

(Oleh Muhajriin Abdul Qadir, Lc)

Senin, 03 November 2008

Tips Manajemen Waktu


Defenisi manajemen waktu: Melakukan hal terbaik dengan waktu yang anda miliki.

10 Rahasia manajemen Waktu untuk tenaga penjual:

1.Terarah (Grounded)

2.Pikirkan Sebelum Melakukan Sesuatu

3.Berpikirlah dengan Tepat

4.Proiritaskan konsumen dan Calon konsumen Anda

5.Kontrol Diri dalam Segala Situasi

6.Buanglah Praktik yang Tidak Perlu

7.Ciptakan Sistem

8.Berpeganglah pada Proses Penjualan yang Efektif

9.Peliharalah Hubungan yang Bermanfaat

10.Tetaplah Seimbang

*Tiga unsur untuk menjadi terarah:

1.Cara Berpikir Lebih yang merupakan energi untuk mengubah hidup kita secara positif

2.Fokus untuk menjadi lebih efektif yang merupakan strategi dasar manajemen waktu

3.Memberikan batasan pada sikap dan tindakan Anda yang membantu Andauntuk terfokus secara tepat

*Cara Berpikir yg akan memberi energi pada usaha yang Anda lakukan adalah cara berpikir lebih (More Mindset)"More Mindset adalah serangkaian kepercayaan mendasar bahwa Anda bisa dan harus mempunyai lebih, mencapai lebih, dan menjadi lebih dari Anda yang sekarang"

*Strategi dasar manajemen waktu adalah fokus utk menjadi lebih efektif!*Prioritaskan mana yang akan memberikan hasil terbesar bagi Anda dari usaha terkecil Anda, tidak dengan mengerjakan lebih banyak hal dalam waktu yang lebih sedikit.

*Fokuskan pada efektivitas daripada efesiensi-Efektif: mengerjakan hal yang tepat, hal yang akan memberi Anda hasil yang terbaik.-Efesien: mengerjakan hal tertentu dalam waktu yang minimal.

semoga bermanfaat!!!

Rabu, 15 Oktober 2008

CERMIN

Betapa senangnya kancil saat mendapati bayangan dirinya di sebuah genangan air nan jernih. Bayangan itu begitu utuh, persis seperti aslinya. Dan, kancil pun tersenyum sambil terus memandangi bayangan dirinya yang juga tersenyum.
"Ternyata, aku cakep!" ujarnya setelah memastikan kalau bayangan itu memang benar-benar diri kancil sendiri. Dan, kancil pun melompat-lompat kegirangan. Tiap kumpulan hewan yang ia lalui seolah tersenyum memandangi dirinya. Bisikan yang selalu ia yakini pun mengatakan, "Kancil cakep, Ya! Kancil cakep!"
Begitu seterusnya hingga hewan periang ini menemukan genangan air yang lain. Warna air itu agak kusam. Beberapa dahan pohon yang mulai membusuk dalam air seperti memberi warna hijau pekat. Dan bayang-bayang yang dipantulkan genangan itu pun akan menjadi kusam.
"Hei, kenapa wajahku seperti ini?" teriak kancil sesaat setelah memandangi bayangan wajahnya dari permukaan genangan air itu. Ia jadi kian penasaran. Terus ia pandangi genangan itu seolah mencari detil-detil kesalahan. Tapi, bayangan itu tak juga berubah. Ia terlihat kusam, kumuh. Bulu-bulu coklatnya yang bersih tak lagi tampak seperti apa adanya. "Ternyata aku salah! Aku tidak cakep!" keluh kancil sambil beranjak meninggalkan genangan air.
Berjalan agak lunglai, kancil membayangkan sesuatu yang tak nyaman. Sapaan manis hewan-hewan yang ia lalui, terasa agak lain. Tiap sapaan seperti sebuah hinaan: "Kancil jelek! Sok cakep!" Itulah kenapa kancil selalu menunduk ketika berpapasan dengan siapa pun yang ia jumpai. Mulai dari kuda, kerbau, rusa, zebra, dan kambing. Ia merasa begitu rendah dibanding yang lain. Keriangannya pun berganti kesedihan. Pelan tapi pasti, bayang-bayang itu pun menjadi sebuah pengakuan. "Aku memang sok cakep!"
***
Hidup dalam sebuah kebersamaan adalah sama dengan memandangi diri dalam seribu satu cermin sosial. Masing-masing cermin punya sudut pandang sendiri. Bayangan yang ditampilkannya pun sangat bergantung pada mutu cermin. Tentu akan beda antara bayangan cermin jernih dengan yang kusam. Terlebih jika cermin itu sudah retak.
Memahami keanekaragaman cermin ini akan membuat seseorang seperti berjalan pada bentangan tambang di sebuah ketinggian. Ia mesti merawat keseimbangan: antara percaya diri yang berlebihan dengan rendah diri yang kebablasan. Percaya diri yang berlebihan, membuat langkah menjadi tidak hati-hati. Dan rendah diri yang kebablasan, membuat langkah tak pernah memulai.
Andai keseimbangan percaya diri ini yang dipahami kancil, tentu ia tak terlalu bangga dengan bayangan yang terasa begitu membuai. Karena di cermin yang lain, bayangan dirinya menjadi buruk. Sangat buruk. Andai keseimbangan ini yang dipegang kancil, insya Allah, ia tak akan jatuh. (mnuh)

Disiplin shalat 5 waktu

oleh Ihsan Tandjung
Selasa, 14 Okt 2008 22:42
Di masa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam tidak ada orang yang sengaja tidak sholat berjamaah di masjid selain orang munafiq yang tidak diragukan kemunafiqannya
Di antara ciri menonjol muttaqin (orang-orang bertaqwa) ialah rajin menegakkan sholat sebagaimana diperintahkan Allah ta’aala dan dicontohkan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam.
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS AlBaqarah ayat 2-3)
Muttaqin menyadari bahwa sholat merupakan bukti keimanan yang sangat signifikan. Dan mereka sangat menyadari betapa besar akibatnya bila seseorang dengan sengaja meninggalkan sholat wajib lima waktu tanpa alasan yang dibenarkan syariat. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menggambarkan orang yang meninggalkan sholat sebagai terlibat dalam kekufuran bahkan kemusyrikan!
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ
“Aku mendengar Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Sesungguhnya antara seorang lelaki dan kemusyrikan serta kekufuran ialah meninggalkan sholat.” (HR Muslim 116)
Malah dalam hadits lainnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam berlepas diri dari orang yang dengan sengaja melalaikan kewajiban sholat. Sehingga beliau mengatakan bahwa tindakan tersebut akan menghilangkan jaminan Allah ta’aala dan RasulNya atas orang itu pada hari berbangkit kelak.
عَنْ أُمِّ أَيْمَنَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَتْرُكْ الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا فَإِنَّهُ مَنْ تَرَكَ الصَّلَاةَ مُتَعَمِّدًا فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Dari Ummu Aiman radhiyallahu ’anha bahwa sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Jangan kamu tinggalkan sholat dengan sengaja. Karena sesungguhnya barangsiapa meninggalkan sholat dengan sengaja maka sungguh lepaslah darinya perlindungan Allah ta’aala dan RasulNYa.”(HR Ahmad 26098)
Dan perlu diketahui bahwa urusan paling awal yang akan Allah ta’aala periksa atas hamba-hambaNya pada hari pengadilan ialah sholatnya. Barangsiapa yang sholatnya dikerjakan dengan baik maka beruntunglah dia, dan sebaliknya barangsiapa yang sholatnya dinilai kurang, maka kekurangannya hanya bisa ditutup bila hamba tersebut punya simpanan sholat sunnah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَلَاتُهُ فَإِنْ وُجِدَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتُقِصَ مِنْهَا شَيْءٌ قَالَ انْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ لَهُ مِنْ تَطَوُّعٍ يُكَمِّلُ لَهُ مَا ضَيَّعَ مِنْ فَرِيضَةٍ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ سَائِرُ الْأَعْمَالِ تَجْرِي عَلَى حَسَبِ ذَلِكَ
“Sesungguhnya hal pertama yang diperhitungkan dari seorang hamba Allah ta’aala pada hari kiamat ialah sholatnya. Jika didapati ia sempurna maka ia dicatat sebagai sempurna. Jika didapati terdapat kekurangan, maka dikatakan ”Coba lihat adakah ia memiliki sholat sunnah yang dapat melengkapi sholat wajibnya?” Kemudian segenap amal perbuatannya yang lain diproses sebagaimana sholatnya. (HR AnNasai)
Saudaraku, tegakkanlah sholat wajib lima waktu dengan disiplin. Sebab Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengatakan bahwa sholat wajib akan menghapuskan segenap kesalahan seorang muslim laksana daun yang berguguran dari sebatang pohon.
فَقَالَ:"إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا تَوَضَّأَ، فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ صَلَّى الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ تَحَاتَّتْ خَطَايَاهُ، كَمَا تَحَاتَّ هَذَا الْوَرَقُ"، ثُمَّ تَلا هَذِهِ الآيَةَ: {أَقِمِ الصَّلاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ ذَلِكَ ذِكْرَى لِلذَّاكِرِينَ} [هود: 114] .
“Seorang muslim bila berwudhu dan ia baguskan wudhunya kemudian ia sholat lima waktu, maka berguguranlah kesalahannya seperti bergugurannya daun ini.” Kemudian beliau membaca ayat sbb: “Tegakkanlah sholat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”. (HR Thabrani 6028)
Saudaraku, usahakanlah sedapat mungkin untuk selalu menegakkan sholat wajib lima waktu berjamaah di masjid, khususnya bagi kaum pria muslim. Sebab ahli fiqih dari kalangan para sahabat, yaitu Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan bahwa orang yang sholatnya dikerjakan di rumah –bukan di masjid- berpotensi untuk menjadi sesat dari jalan Allah ta’aala.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللَّهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ
Ibn Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata: “Barangsiapa ingin bertemu Allah ta’aala esok hari sebagai seorang muslim, maka ia harus menjaga benar-benar sholat pada waktunya ketika terdengar suara adzan. Maka sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aala telah mensyari’atkan (mengajarkan) kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam beberapa SUNANUL-HUDA (perilaku berdasarkan hidayah/petunjuk) dan menjaga sholat itu termasuk dari SUNANUL-HUDA. Andaikan kamu sholat di rumah sebagaimana kebiasaan orang yang tidak suka berjama’ah berarti kamu meninggalkan sunnah Nabimu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Dan bila kamu meninggalkan sunnah Nabimu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam pasti kamu tersesat.” (HR Muslim 1046).
Bahkan dalam hadits yang sama, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu mengatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam masih hidup tidak ada orang yang sengaja tidak sholat berjamaah di masjid kecuali orang munafiq yang tidak diragukan kemunafiqannya. Na’udzubillahi min dzaalika..!
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ
Dan sungguh dahulu pada masa Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam tiada seorang tertinggal dari sholat berjama’ah kecuali orang-orang munafiq yang terang kemunafiqannya.” (HR Muslim 1046).

Seindah alam berbicara

Cahaya kemegahan
Aurora
Awan bertahta

Senin, 13 Oktober 2008

Matahari Fitri

Perguliran mentari….dan pergantian tahun….
Adalah kesaksian yang takkan pernah terulang
Ini adalah sejarah hidupku ketika nafas masih mengalir…
Ini merupakan album terindah tuk mengenang masa yang telah berjalan
Mungkin ada makanan hak-mu yang termakan…
Mungkin ada air hak-mu yang terminum…
Mungkin ada udara hak-mu yang terhirup…
Mungkin ada ceria-mu yang kurebut dan kutukar dengan kecewa
Mungkin ada senyum-mu yang kurampas dan kutukar dengan tangis
Mungkin ada harapanmu yang pupus dan tertukar kekecewaan…
Mungkin ada kerinduan yang tertukar dengan kebencian…
Itu bukan salahmu….tapi pasti salahku…
Dan di hari nan fitrah ini…
Satu pintaku : ” Bukalah pintu maafmu “
Dan izinkan hatiku tuk bersilaturahmi ke dalam rumah hatimu.
Dan maafkan jika aku tak sempat membawa apapun ke rumahmu…
Kecuali seikat Mawar Do’a yang kupersembahkan khusus untukmu
Ya Allahu Ya Rabb….
Limpahkanlah kekayaan ilmu dan rizki yang halal tuk sahabatku ini..
Hiasilah hatinya dengan kesabaran, ketulusan & keikhlasan…
Tanam dan pupuklah kasih sayang di taman jiwanya…
Muliakanlah wajahnya dengan ketaqwaan dan kesholehan…
Perindahlah fisiknya dengan kesehatan, sujud, dan dzikir…
Serta terimalah amal ibadah Ramadhannya dengan kelipatgandaan barokah dan magfirahMu.
Kembalikan kepadanya jiwa yang fitri
Amiiin…yaa…rabbal alamiiin.
Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1429H Mohon Maaf Lahir dan Bathin

Salam

Rabu, 17 September 2008

Al-Qur'an an Sain Modern

"Tak ada benturan dan pertentangan antara Islam dengan sains," cetus Ketua Persatuan Ulama Umat Islam Dunia, Dr Yusuf Al-Qaradhawi, dalam sebuah kesempatan. Alih-alih bertentangan, para saintis modern Barat telah membuktikan bahwa ajaran Islam sangat sejalan dengan ilmu pengetahuan modern.

Alquran--sebagai kitab suci dan petunjuk hidup umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada 14 abad silam, secara mengagumkan, mengungkapkan sederet fenomena ilmu pengetahuan yang telah terbukti akurasi dan kebenarannya. Hal itu berbeda dengan Bible ajaran Kristen yang justru memiliki banyak perbedaan pandangan dengan ilmu pengetahuan.

Munculnya perbedaan pandangan antara Bible dengan sains memang telah mengundang perdebatan di kalangan penganut Kristen. Banyaknya ketidaksesuaian antara Bible dengan sains diungkapkan Robert C Newman dalam sebuah tulisannya bertajuk Conflict between Christianity and Science. Hal itu kerap mengundang keraguan di kalangan Nasrani tentang kebenaran Bible sebagai firman Tuhan.

Setelah melakukan berbagai penelitian ilmiah, para saintis Barat telah membuktikan kebenaran janji Allah SWT tentang isi Alquran. Dalam surah Albaqarah ayat 2, Allah SWT berfirman, "Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa."

Prof Keith L Moore, guru besar Departemen Anatomi dan Biologi Sel Universitas Toronto, telah membuktikan kebenaran firman Allah SWT itu. "Saya tak tahu apa-apa tentang agama, namun saya meyakini kebenaran fakta yang terkandung dalam Alquran dan sunah," papar Moore yang terkagum-kagum dengan kandungan Alquran yang secara akurat menjelaskan perkembangan embrio manusia.

Berikut ini sebagian kecil fakta penting tentang kandungan Alquran yang sejalan dengan temuan dunia sains modern.

Pembentukan awan
Para saintis telah mempelajari beragam jenis awan. Selain itu, kalangan ilmuwan juga meneliti proses terbentuknya awan dan bagaimana hujan terjadi. Secara ilmiah, saintis memaparkan proses terjadinya hujan dimulai dari awan yang didorong angin. Awan Cumulonimbus terbentuk ketika angin mendorong sejumlah awan kecil ke wilayah awan itu bergabung hingga kemudian terjadi hujan.

Tentang fenomena pembentukan awan dan hujan itu, Alquran pun menjelaskannya secara akurat. Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)-nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih. Maka, kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan, seperti) gunung-gunung. Maka, ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan." (QS Annur: ayat 43).

Lautan dan sungai
Ilmu pengetahuan modern telah menemukan adanya batas di tempat pertemuan antara dua lautan yang berbeda. Pembatas itu membagi dua lautan sehingga setiap laut memiliki temperatur, berat jenis, dan kadar garam masing-masing. Misalnya, laut Mediterania memiliki air yang hangat serta kadar garam dan berat jenisnya lebih rendah dibandingkan Samudra Atlantik.

Temuan sains modern itu sejalan dengan Alquran yang telah mengungkapkannya sejak 14 abad lampau. Dalam surah Arrahman ayat 19-20, Allah SWT berfirman, ''Dia membiarkan dua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu. Antara keduanya, ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.''

Perbedaan kadar garam kedua lautan yang dipisahkan pembatas itu juga diungkapkan dalam surah Alfurqan ayat 53, "Dan, Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi." Kebenaran ayat Alquran itulah yang membuat para saintis Barat berdecak kagum.

Pentingnya ASI
Dunia kesehatan modern beberapa tahun ini mulai menggaungkan pentingnya pemberian Air Susu Ibu (ASI). Anjuran itu mulai digalakkan karena ASI memiliki banyak keunggulan. Secara ilmiah, ASI merupakan makanan bagi bayi yang telah terbukti memiliki keunggulan dibandingkan dengan susu sapi atau susu yang berasal dari sumber lain. Alquran telah menyatakan pentingnya pemberian ASI bagi bayi dan batita sejak 14 abad lampau.

Dalam surah Albaqarah ayat 233, Allah SWT berfirman, "Para ibu hendaknya menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh. Yaitu, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan, kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf."

Serebrum (otak besar)
Pada surah Al 'Alaq ayat 15-16, Allah SWT berfirman, "Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian), niscaya Kami tarik ubun-ubunnya. (Yaitu) ubun-ubun orang mendustakan lagi durhaka." Ubun-ubun inilah yang disebut para saintis sebagai serebrum (otak besar). Lalu, apa hubungannya dengan kebohongan dan serebrum?

Secara psikologi, otak besar ini ternyata bertanggung jawab untuk merencanakan, memotivasi, dan memprakarsai hal yang baik ataupun buruk. Otak besar juga bertanggung jawab atas kebohongan dan kebenaran yang dikatakan seseorang.

Pembentukan embrio manusia
Alquran secara gamblang telah menjelaskan proses pembentukan embrio manusia. "Dan, sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian, Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian, air mani itu Kami jadikan segumpal darah. Lalu, segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang. Lalu, tulang belulang itu Kami bungkus daging. Kemudian, Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain ...." (QS Almu'minun: 12-14).

Fakta yang diungkapkan dalam Alquran itu sungguh mencengangkan para saintis modern Barat. "Saya sungguh sangat membahagiakan bisa membantu mengklarifikasi pernyataan Alquran tentang perkembangan manusia. Jelaslah bagi saya, pernyataan (Alquran) itu pastilah turun kepada Muhammad dari Tuhan," papar Prof Keith L Moore, ilmuwan terkemuka dalam bidang anatomi dan embriologi."Sebab, hampir semua pengetahuan itu belum ditemukan hingga beberapa abad kemudian. Ini membuktikan kepada saya bahwa Muhammad adalah seorang Rasul utusan Tuhan," imbuhnya. hri

Selasa, 16 September 2008

Menepati janji

Janji memang ringan diucapkan namun berat untuk ditunaikan. Betapa banyak orangtua yang mudah mengobral janji kepada anaknya tapi tak pernah menunaikannya. Betapa banyak orang yang dengan entengnya berjanji untuk bertemu namun tak pernah menepatinya. Dan betapa banyak pula orang yang berhutang namun menyelisihi janjinya. Bahkan meminta udzur pun tidak. Padahal, Rasulullah telah banyak memberikan teladan dalam hal ini termasuk larangan keras menciderai janji dengan orang-orang kafir.

Manusia dalam hidup ini pasti ada keterikatan dan pergaulan dengan orang lain. Maka setiap kali seorang itu mulia dalam hubungannya dengan manusia dan terpercaya dalam pergaulannya bersama mereka, maka akan menjadi tinggi kedudukannya dan akan meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Sementara seseorang tidak akan bisa meraih predikat orang yang baik dan mulia pergaulannya, kecuali jika ia menghiasi dirinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Dan di antara akhlak terpuji yang terdepan adalah menepati janji.
Sungguh Al-Qur`an telah memerhatikan permasalahan janji ini dan memberi dorongan serta memerintahkan untuk menepatinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا اْلأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا ...
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah itu sesudah meneguhkannya….” (An-Nahl: 91)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
وَأَوْفُوا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً
“Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra`: 34)
Demikianlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga, memelihara, dan melaksanakan janjinya. Hal ini mencakup janji seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, janji hamba dengan hamba, dan janji atas dirinya sendiri seperti nadzar. Masuk pula dalam hal ini apa yang telah dijadikan sebagai persyaratan dalam akad pernikahan, akad jual beli, perdamaian, gencatan senjata, dan semisalnya.

Para Rasul Menepati Janji
Seperti yang telah dijelaskan bahwa menepati janji merupakan akhlak terpuji yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan panutan umat dan penyampai risalah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada manusia, menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah Ibrahim ‘alaihissalam, bapak para nabi dan imam ahlut tauhid. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyifatinya sebagai orang yang menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِبْرَاهِيْمَ الَّذِي وَفَّى
“Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (An-Najm: 37)
Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim ‘alaihissalam telah melaksanakan seluruh apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ujikan dan perintahkan kepadanya dari syariat, pokok-pokok agama, serta cabang-cabangnya.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang Nabi Ismail ‘alaihissalam:
إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ
“Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (Maryam: 54)
Yakni tidaklah ia menjanjikan sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini mencakup janji yang ia ikrarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala maupun kepada manusia. Oleh karena itu, tatkala ia berjanji atas dirinya untuk sabar disembelih oleh bapaknya –karena perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala– ia pun menepatinya dengan menyerahkan dirinya kepada perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 822 dan 496)
Adapun Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memperoleh bagian yang besar dalam permasalahan ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi terpercaya. Maka tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diangkat menjadi rasul, tidaklah perangai yang mulia ini kecuali semakin sempurna pada dirinya. Sehingga orang-orang kafir pun mengaguminya, terlebih mereka yang mengikuti dan beriman kepadanya.
Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun keenam Hijriah berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah beserta para shahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy. Ketika sampai di Al-Hudaibiyah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin dihadang oleh kaum musyrikin. Terjadilah di sana perundingan antara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum musyrikin. Disepakatilah butir-butir perjanjian yang di antaranya adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun, tidak boleh saling menyerang, bahwa kaum muslimin tidak boleh umrah tahun ini tetapi tahun depan –di mana ini dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin karena mereka harus membatalkan umrahnya–, dan kalau ada orang Makkah masuk Islam lantas pergi ke Madinah, maka dari pihak muslimin harus memulangkannya ke Makkah.
Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail –juru runding orang Quraisy– masuk Islam dan ingin ikut bersama shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Madinah. Suhail pun mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa jika anaknya tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhirnya menandatangani perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan muslimin harus membatalkan umrahnya. Namun di balik peristiwa itu justru kebaikan bagi kaum muslimin, di mana dakwah tersebar dan ada nafas untuk menyusun kembali kekuatan. Namun belumlah lama perjanjian itu berjalan, orang-orang kafir lah yang justru mengkhianatinya. Akibat pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) sehingga mereka bertekuk lutut dan menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian, jatuhlah markas komando musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun masuk Islam dengan berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah menepati janji: datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Zadul Ma’ad, 3/262)

Para Salaf dalam Menepati Janji
Dahulu ada seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bernama Anas bin An-Nadhr radhiyallahu ‘anhu. Dia amat menyesal karena tidak ikut perang Badr bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia berjanji jika Allah Subhanahu wa Ta’ala memperlihatkan kepadanya medan pertempuran bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melihat pengorbanan yang dilakukannya.
Ketika berkobar perang Uhud, dia berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam perang ini kaum muslimin terpukul mundur dan sebagian lari dari medan pertempuran. Di sinilah terbukti janji Anas. Dia terus maju menerobos barisan musuh sehingga terbunuh. Ketika perang telah usai dan kaum muslimin mencari para syuhada Uhud, didapati pada tubuh Anas bin An-Nadhr ada 80 lebih tusukan pedang, tombak, dan panah, sehingga tidak ada yang bisa mengenalinya kecuali saudarinya. Lalu turunlah ayat Al-Qur`an:
مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيْلاً
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak mengubah (janjinya).” (Al-Ahzab: 23) [Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Surat Al-Ahzab, 3/484 dan Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 3200]
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik Al-Asyja’i radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Dahulu kami –berjumlah– tujuh atau delapan atau sembilan orang di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda: “Tidakkah kalian berbai’at kepada Rasulullah?” Maka kami bentangkan tangan kami. Lantas ada yang berkata: “Kami telah berbaiat kepadamu wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu atas apa kami membaiat anda?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَنْ تَعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَتُقِيْمُوا الصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ وَتَسْمَعُوا وَتُطِيْعُوا – وَأَسَرَّ كَلِمَةً خَفِيَّةً - وَلاَ تَسْأَلُوا النَّاسَ شَيْئًا
“Kalian menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya sedikitpun, kalian menegakkan shalat lima waktu, mendengar dan taat (kepada penguasa) –dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan kalimat yang samar– (lalu berkata), dan kalian tidak meminta sesuatu pun kepada manusia.”
‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sungguh aku melihat cambuk sebagian orang-orang itu jatuh namun mereka tidak meminta kepada seorang pun untuk mengambilkannya.” (Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2334)
Seperti itulah besarnya permasalahan menepati janji di mata generasi terbaik umat ini. Karena mereka yakin bahwa janji itu akan dimintai pertanggungjawabannya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan tiada kalimat yang terucap kecuali di sisinya ada malaikat pencatat. Intinya, keimanan yang benar itulah yang akan mewariskan segala tingkah laku dan perangai terpuji.
Hal ini sangat berbeda dengan orang yang hanya bisa memberi janji-janji manis yang tidak pernah ada kenyataannya. Tidakkah mereka takut kepada adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala karena ingkar janji? Tidakkah mereka tahu bahwa ingkar janji adalah akhlak Iblis dan para munafikin? Ya. Seruan ini mungkin bisa didengar, tetapi bagaimana bisa mendengar orang yang telah mati hatinya dan dikuasai oleh setannya.

Iblis Menebar Janji Manis
Semenjak Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Adam ‘alaihissalam dan memuliakannya di hadapan para malaikat, muncullah kedengkian dan menyalalah api permusuhan pada diri Iblis. Terlebih lagi ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutuknya dan mengusirnya dari surga. Iblis berikrar akan menyesatkan manusia dengan mendatangi mereka dari berbagai arah sehingga dia mendapat teman yang banyak di neraka nanti. Berbagai cara licik dilakukan oleh Iblis. Di antaranya dengan membisikkan pada hati manusia janji-janji palsu dan angan-angan yang hampa.
Pada waktu perang Badr, Iblis datang bersama para setan pasukannya dengan membawa bendera. Ia menjelma seperti seorang lelaki dari Bani Mudlaj dalam bentuk seseorang yang bernama Suraqah bin Malik bin Ju’syum. Ia berkata kepada kaum musyrikin: “Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini. Dan aku ini sesungguhnya pelindung kalian.” Tatkala dua pasukan siap bertempur, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil segenggam debu lalu menaburkannya pada wajah pasukan musyrikin sehingga mereka lari ke belakang. Kemudian malaikat Jibril mendatangi Iblis. Ketika Iblis melihat Jibril dan waktu itu tangannya ada pada genggaman seorang lelaki, ia berusaha melepaskannya kemudian lari terbirit-birit beserta pasukannya. Lelaki tadi berkata: “Wahai Suraqah, bukankah kamu telah menyatakan pembelaan terhadap kami?” Iblis berkata: “Aku melihat apa yang tidak kamu lihat.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/330 dan Ar-Rahiq Al-Makhtum hal. 304)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِذْ زَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطَانُ أَعْمَالَهُمْ وَقَالَ لاَ غَالِبَ لَكُمُ الْيَوْمَ مِنَ النَّاسِ وَإِنِّي جَارٌ لَكُمْ فَلَمَّا تَرَاءَتِ الْفِئَتَانِ نَكَصَ عَلَى عَقِبَيْهِ وَقَالَ إِنِّي بَرِيْءٌ مِنْكُمْ إِنِّي أَرَى مَا لاَ تَرَوْنَ إِنِّي أَخَافُ اللهَ وَاللهُ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
“Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan mereka dan mengatakan: ‘Tidak ada seorang manusia pun yang bisa menang atas kalian pada hari ini, dan sesungguhnya saya ini adalah pelindungmu.’ Maka tatkala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan itu berbalik ke belakang seraya berkata: ‘Sesungguhnya aku berlepas diri dari kalian; sesungguhnya aku melihat apa yang kalian tidak melihatnya; sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Al-Anfal: 48)

Tanda-tanda Kemunafikan
Menepati janji adalah bagian dari iman. Barangsiapa yang tidak menjaga perjanjiannya maka tidak ada agama baginya. Maka seperti itu pula ingkar janji, termasuk tanda kemunafikan dan bukti atas adanya makar yang jelek serta rusaknya hati.
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafik ada tiga; apabila berbicara dusta, apabila berjanji mengingkari, dan apabila dipercaya khianat.” (HR. Muslim, Kitabul Iman, Bab Khishalul Munafiq no. 107 dari jalan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Seorang mukmin tampil beda dengan munafik. Apabila dia berbicara, jujur ucapannya. Bila telah berjanji ia menepatinya, dan jika dipercaya untuk menjaga ucapan, harta, dan hak, maka ia menjaganya. Sesungguhnya menepati janji adalah barometer yang dengannya diketahui orang yang baik dari yang jelek, dan orang yang mulia dari yang rendahan. (Lihat Khuthab Mukhtarah, hal. 382-383)

Menjaga Ikatan Perjanjian Walaupun Terhadap Orang Kafir
Orang yang membaca sirah (sejarah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi Salafush Shalih akan mendapati bahwa menepati janji dan ikatan perjanjian tidak terbatas hanya sesama kaum muslimin. Bahkan terhadap lawan pun demikian. Sekian banyak perjanjian yang telah diikat antara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang kafir dari Ahlul Kitab dan musyrikin, tetap beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam jaga, sampai mereka sendiri yang memutus tali perjanjian itu. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِلاَّ الَّذِيْنَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوْكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِيْنَ
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (At-Taubah: 4)
Dahulu antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu 'anhuma ada ikatan perjanjian (gencatan senjata) dengan bangsa Romawi. Suatu waktu Mu’awiyah bermaksud menyerang mereka di mana dia tergesa-gesa satu bulan (sebelum habis masa perjanjiannya). Tiba-tiba datang seorang lelaki mengendarai kudanya dari negeri Romawi seraya mengatakan: “Tepatilah janji dan jangan berkhianat!” Ternyata dia adalah seorang shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama ‘Amr bin ‘Absah. Mu’awiyah lalu memanggilnya. Maka ‘Amr berkata: “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa antara ia dengan suatu kaum ada perjanjian maka tidak halal baginya untuk melepas ikatannya sampai berlalu masanya atau mengembalikan perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur.” Akhirnya Mu’awiyah menarik diri beserta pasukannya. (Lihat Syu’abul Iman no. 4049-4050 dan Ash-Shahihah 5/472 hadits no. 2357)
Kalau hal itu bisa dilakukan terhadap kaum musyrikin, tentu lebih-lebih lagi terhadap kaum muslimin, kecuali perjanjian yang maksiat, maka tidak boleh dilaksanakan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلىَ شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
“Dan kaum muslimin (harus menjaga) atas persyaratan/perjanjian mereka, kecuali persyaratan yang mengharamkan yang dihalalkan atau menghalalkan yang haram.” (Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 1352, lihat Irwa`ul Ghalil no. 1303)

Menunaikan Nadzar dan Membayar Hutang
Di antara bentuk menunaikan janji adalah membayar hutang apabila jatuh temponya dan tiba waktu yang telah ditentukan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَهَا يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ
“Barangsiapa yang mengambil harta manusia dalam keadaan ingin menunaikannya niscaya Allah akan (memudahkan untuk) menunaikannya. Dan barangsiapa mengambilnya dalam keadaan ingin merusaknya, niscaya Allah akan melenyapkannya.” (HR. Ahmad, Al-Bukhari dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, lihat Faidhul Qadir, 6/54)
Adapun menunaikan nadzar, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يُوْفُوْنَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُوْنَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيْرًا
“Mereka menunaikan nadzar dan takut akan suatu hari yang adzabnya merata di mana-mana.” (Al-Insan: 7)

Janji yang Paling Berhak Untuk Dipenuhi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَحَقُّ الشُّرُوْطِ أَنْ تُوَفُّوا بِهَا مَا اسْتَحْلَلْتُمْ بِهِ الْفُرُوْجَ
“Syarat/janji yang paling berhak untuk ditepati adalah syarat yang kalian halalkan dengannya kemaluan.” (HR. Al-Bukhari no. 2721)
Yakni syarat/janji yang paling berhak untuk dipenuhi adalah yang berkaitan dengan akad nikah seperti mahar dan sesuatu yang tidak melanggar aturan agama. Jika persyaratan tadi bertentangan dengan syariat maka tidak boleh dilakukan, seperti seorang wanita yang mau dinikahi dengan syarat ia (laki-lakinya) menceraikan isterinya terlebih dahulu. (Lihat Fathul Bari, 9/218)

Larangan Ingkar Janji terhadap Anak Kecil
Sikap mengingkari janji terhadap siapapun tidak dibenarkan agama Islam, meskipun terhadap anak kecil. Jika ini yang terjadi, disadari atau tidak, kita telah mengajarkan kejelekan dan menanamkan pada diri mereka perangai yang tercela.
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu telah meriwayatkan hadits dari shahabat Abdullah bin ‘Amir radhiyallahu 'anhuma dia berkata: “Pada suatu hari ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di tengah-tengah kami, (tiba-tiba) ibuku memanggilku dengan mengatakan: ‘Hai kemari, aku akan beri kamu sesuatu!’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan kepada ibuku: ‘Apa yang akan kamu berikan kepadanya?’ Ibuku menjawab: ‘Kurma.’ Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَمَا إِنَّكِ لَوْ لَمْ تُعْطِهِ شَيْئًا كُتِبَتْ عَلَيْكِ كِذْبَةٌ
“Ketahuilah, seandainya kamu tidak memberinya sesuatu maka ditulis bagimu kedustaan.” (HR. Abu Dawud bab At-Tasydid fil Kadzib no. 498, lihat Ash-Shahihah no. 748)
Di dalam hadits ini ada faedah bahwa apa yang biasa diucapkan oleh manusia untuk anak-anak kecil ketika menangis seperti kalimat janji yang tidak ditepati atau menakut-nakuti dengan sesuatu yang tidak ada adalah diharamkan. (‘Aunul Ma’bud, 13/ 229)
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ فِي جِدٍّ وَلاَ هَزْلٍ، وَلاَ أَنْ يَعِدَ أَحَدُكُمْ وَلَدَهُ شَيْئًا ثُمَّ لاَ يُنْجِزُ لَهُ
“Kedustaan tidak dibolehkan baik serius atau main-main, dan tidak boleh salah seorang kalian menjanjikan anaknya dengan sesuatu lalu tidak menepatinya.” (Shahih Al-Adabul Mufrad no. 300)

Larangan Menunaikan Janji Yang Maksiat
Menunaikan janji ada pada perkara yang baik dan maslahat, serta sesuatu yang sifatnya mubah/boleh menurut syariat. Adapun jika seorang memberikan janji dengan suatu kemaksiatan atau kemudaratan, atau mengikat perjanjian yang mengandung bentuk kejelekan dan permusuhan, maka menepati janji pada perkara-perkara ini bukanlah sifat orang-orang yang beriman, dan wajib untuk tidak menunaikannya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اللهِ
“Tidak boleh menepati nadzar dalam maksiat kepada Allah.” (HR. Ahmad dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahihul Jami’ no. 7574)

Surga Firdaus bagi yang Menepati Janji
Tidak akan masuk surga kecuali jiwa yang beriman lagi bersih. Dan surga bertingkat-tingkat keutamaannya, sedangkan yang tertinggi adalah Firdaus. Darinya memancar sungai-sungai yang ada dalam surga dan di atasnya adalah ‘Arsy Ar-Rahman. Tempat kemuliaan yang besar ini diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang baik, di antaranya adalah menepati janji. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُوْنَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Mu`minun: 8)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Jagalah enam perkara dari kalian niscaya aku jamin bagi kalian surga; jujurlah bila berbicara, tepatilah jika berjanji, tunaikanlah apabila kalian diberi amanah, jagalah kemaluan, tundukkanlah pandangan dan tahanlah tangan-tangan kalian (dari sesuatu yang dilarang).” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, lihat Ash-Shahihah no. 1470)

Ingkar Janji Mendatangkan Kutukan dan Menjerumuskan ke dalam Siksa
Siapapun orangnya yang masih sehat fitrahnya tidak akan suka kepada orang yang ingkar janji. Karenanya, dia akan dijauhi di tengah-tengah masyarakat dan tidak ada nilainya di mata mereka.
Namun anehnya ternyata masih banyak orang yang jika berjanji hanya sekedar igauan belaka. Dia tidak peduli dengan kehinaan yang disandangnya, karena orang yang punya mental suka dengan kerendahan tidak akan risih dengan kotoran yang menyelimuti dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ شَرَّ الدَّوَابِّ عِنْدَ اللهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوا فَهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ. الَّذِيْنَ عَاهَدْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ يَنْقُضُوْنَ عَهْدَهُمْ فِي كُلِّ مَرَّةٍ وَهُمْ لاَ يَتَّقُوْنَ
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).” (Al-Anfal: 55-56)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ عِنْدَ إِسْتِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Bagi setiap pengkhianat (akan ditancapkan) bendera pada pantatnya di hari kiamat.” (HR. Muslim bab Tahrimul Ghadr no. 1738 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Khatimah
Demikianlah indahnya wajah Islam yang menjunjung tinggi etika dan adab pergaulan. Ini sangat berbeda dengan apa yang disaksikan oleh dunia saat ini berupa kecongkakan Yahudi, Nasrani, dan musyrikin serta pengkhianatan mereka terhadap kaum muslimin.
Saat menapaki sejarah, kita bisa menyaksikan, para pengkhianat perjanjian akan berakhir dengan kemalangan. Tentunya tidak lupa dari ingatan kita tentang nasib tiga kelompok Yahudi Madinah, yaitu Bani Quraizhah, Bani An-Nadhir, dan Bani Qainuqa’ yang berkhianat setelah mengikat tali perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berujung dengan kehinaan. Di antara mereka ada yang dibunuh, diusir, dan ditawan.
Mungkin watak tercela itu sangat melekat pada diri mereka karena tidak adanya keimanan yang benar. Tetapi bagi orang-orang yang mendambakan kebahagiaan hakiki dan ditolong atas musuh-musuhnya, mereka menjadikan etika yang mulia sebagai salah satu modal dari sekian modal demi tegaknya kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan terwujudnya harapan. Yakinlah, Islam akan senantiasa tinggi, dan tiada yang lebih tinggi darinya. Wallahu a’lam.

Cinta Membingkai Puasa

By Arsil Ibrahim

''Demi Allah, yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya. Sesungguhnya, bau mulut orang yang berpuasa lebih disukai Allah daripada harum minyak kasturi.'' (HR Bukhari).

Kita ini ada di dunia karena diciptakan Allah. Bisa hidup karena diberi makan, minum, dan udara oleh Allah. Sungguh celaka jika terbetik niat lain sewaktu berpuasa, selain karena memenuhi kehendak dan perintah Allah.Sungguh, berbeda dengan amal ibadah yang lain, kita merasakan getaran cinta Penguasa Alam Raya dalam perintah puasa ini. Getaran cinta dan kasih Allah itu dapat dirasakan pada hadis di atas.

Cobalah pahami bahasa hadis tersebut. Bukankah ini ungkapan cinta yang melimpah dari Allah kepada hamba-Nya yang berpuasa? Kita semua paham bahwa bau mulut orang yang berpuasa di manapun pasti sangat busuk. Itu wajar karena saat perut sedang kosong, asam lambung dapat memanjat sampai ke dinding mulut.

Saat berbicara, menguap, atau bahkan sekadar membuka mulut langsung akan tersebar aroma yang membuat orang menutup hidungnya. Namun, bagi Allah, seseorang yang berpuasa telah mengorbankan makan, minum, dan syahwatnya hanya karena Allah. Allah sungguh cinta pada pengorbanan mereka. Dan, cinta itulah yang menjadikan bau mulut mereka dihargai Allah lebih wangi dari minyak kasturi.

Subhanallah, betapa besarnya cinta kasih Allah terhadap orang yang berpuasa. Banyak sekali amal perbuatan kita ini yang pahalanya dijanjikan Allah kepada kita secara kalkulatif. Contoh, shalat jamaah menaikkan derajat kita di sisi Allah hingga 27 derajat. Bersedekah dilipatgandakan Allah pahalanya hingga 700 kali lipat.

Begitu pula shalat di Masjidil Haram yang pahalanya 100 ribu lebih utama dibandingkan shalat di masjid biasa. Semuanya dijanjikan Allah dalam hitungan-hitungan yang jelas. Tapi, untuk puasa, Allah mengungkapkan apresiasi-Nya yang tinggi. ''Puasa itu untuk-Ku dan biar Aku yang menganugerahkan pahalanya.'' Bukankah ini sebuah ungkapan sentimental yang diwarnai dengan kecintaan? (ah)

Teman Abadi

oleh : AM Fatwa

Tak terasa peristiwa demi peristiwa cepat terlalu. Pagi, petang, siang, malam, silih berganti. Jarang di antara kita yang memperhatikannya, terlebih yang disibukkan oleh hidup yang mempesona dan mengasyikkan. Tahu-tahu jasmani berangsur surut. Waktu dan musim terus beralih dari masa ke masa, mengubah segalanya.

Dalam Alquran banyak disinggung perubahan masa dan waktu, supaya manusia selalu ingat bahwa dia berada dalam kekuasaan Tuhan. Dia tidak mungkin mampu menentang perubahan, baik dalam alam maupun dalam dirinya sendiri. ''Perhatikanlah bulan dan malam, ketika telah pergi. Dan pagi, ketika telah benderang. Sesungguhnya, inilah peristiwa yang sangat besar. Satu peringatan untuk manusia'' (Al-Mudatstsir 32-35).

Dalam hal ini, kematian merupakan peristiwa besar yang mengubah segalanya dan menghentikan seluruh nilai dunia yang pernah begitu dicintainya. Oleh sebab itu, setiap muslim sangat ingin -- di sela-sela timbul tenggelamnya hidup ini -- banyak amal saleh dapat dilakukan, banyak kemelut hidup dapat dipertanggungjawabkan, lalu mengakhiri usianya dengan husnul khatimah, sebagai akhir yang indah. Tentang umur, Rasulullah SAW mengatakan: ''Umur umatku di antara 60 dan 70 tahun, dan sedikit di antara mereka yang melampaui itu.'' (H.R. Ibnu Majah).

Dalam praktek, tak banyak orang mencapai usia maksimal yang disebutkan Rasulullah di atas. Banyak di antara kita yang mati muda sebelum mencapai usia 60 tahun. Misalnya baru-baru ini kematian budayawan Betawi, Benyamin S sangat mengejutkan kita semua. Maka tentulah mereka yang melampaui usia maksimal adalah anugerah keistimewaan dari Tuhan dan berkesempatan merenungkannya lebih sungguh-sungguh bahwa sewaktu-waktu penilaiannya akan beralih dari hidup di dunia kepada kehidupan di akhirat. Ketika itu terjadi, Nabi SAW menggambarkan: ''Si mayat diberangkatkan ke kubur beserta keluarga, harta, dan amal perbuatannya. Keluarga dan hartanya kembali pulang. Yang tinggal padanya hanyalah amal perbuatan yang baik.'' (H.R. Bukhari-Muslim).

Satu hal yang paling berat menempatkannya dalam hati kita adalah satu hukum yang dijelaskan Alquran bahwa hidup sesudah mati (akhirat) itu lebih baik dan lebih kekal. Lebih lagi adalah menempatkan kata-kata hukum (Sunnatullah) itu dalam perspektif kehidupan sosial-ekonomi kita.

Syukurlah akhir-akhir ini dalam kehidupan sosial kita semakin disadari, masih banyak yang menantikan uluran tangan kaum punya untuk terjembataninya jurang kemiskinan dan situasi kesenjangan. Tetapi hal itu hanya akan dapat dijembatani dengan kesadaran yang dikesankan oleh iman ke dalam hati nurani kaum punya, di mana kelebihan nikmat Allah di tangannya diinvestasikan untuk membentuk teman abadi di akhirat nanti. Alquran mengingatkan: ''Ingatlah pada suatu hari, di mana harta dan putera-puteri tercinta, tiada nilai dan tiada guna, kecuali siapa yang datang kepada Allah dengan hati yang bersih.'' (As-Syu'ara 88-89). - (ah)

Minggu, 14 September 2008

Urgensi Bertanya

"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang-orang yang mendo'a apabila ia berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran"
(QS 2:186)
Sebagai muslim, kita sangat dituntut untuk mengetahui dan memahami banyak persoalan dan ilmu pengetahuan. Semakin banyak ajaran Islam yang kita pahami, insya Allah semakin banyak pula yang bisa kita amalkan, karena mengamalkan ajaran Islam itu harus didahului dengan pemahaman, sementara semakin sedikit yang kita pahami dari ajaran Islam, makin sedikit pula yang bisa kita amalkan, apalagi belum tentu semua yang kita pahami dari ajaran Islam secara otomatis bisa kita amalkan dalam kehidupan ini.
Banyak cara yang bisa kita lakukan untuk mengetahui dan memahami suatu persoalan, termasuk di dalamnya ajaran Islam. Salah satunya adalah dengan bertanya. Karena itu bertanya menjadi sesuatu yang amat penting. Bahkan pribahasa kita menyebutkan: Malu bertanya, sesat di jalan.
Untuk mengetahui kadar pengetahuan seseorang, kedewasaan pribadinya, bahkan pengalaman hidupnya bisa kita ketahui dari bagaimana seseorang itu mengajukan pertanyaan. Begitu pula halnya dengan ajaran Islam. Bobot pertanyaan, kedalaman jiwa dalam berislam hingga apa sebenarnya yang dikehendakinya bisa terlihat dari pertanyaan para sahabat tentang berbagai persoalan kepada Rasulullah Saw dan ini erat kaitannya dengan turunnya suatu ayat atau surat di dalam Al-. Ada banyak faktor yang menyebabkan turunnya suatu ayat atau surat, faktor-faktor inilah yang disebut dengan asbaabun nuzul (sebab-sebab turunnya) Al-. Salah satu sebab dari turunnya ayat atau surat di dalam Al- adalah adanya pertanyaan dari para sahabat tentang berbagai persoalan, karena itu ada banyak ayat yang dimulai dengan yasaluunaka (mereka bertanya kepadamu) atau wa idza sa'alaka (apabila kamu ditanya).
DIBALIK PERTANYAAN.
Ketika menafsirkan ayat-ayat yang dimulai dengan kalimat-kalimat pertanyaan, Sayyid Qutub dalam kitab tafsirnya Fii Dzilalil menyebutkan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu menunjukkan banyak hal. Pertama, sifat keterbukaan wahyu, perkembangan gambaran kehidupan dan hubungan-hubungannya serta munculnya persoalan-persoalan baru dalam masyarakat. Kedua, bangkitnya perasaan keagamaan, pengaruh dan dominasi aqidah terhadap jiwa kaum sehingga mereka tidak mau melakukan sesuatu kecuali setelah mendapatkan kemantapan dari pandangan peraturan dalam aqidahnya. Ketiga, tidak mudahnya kaum muslimin terpengaruh oleh provokasi yang dilakukan orang-orang kafir guna menanamkan keraguan ke dalam jiwa kaum muslimin hingga sampai menyesatkan mereka, karena mereka segera bertanya atas apa-apa yang mereka ragukan dari penyataan orang kafir itu yang berkaitan dengan amal di dalam Islam.
Dengan demikian, memiliki semangat bertanya merupakan sesuatu yang amat penting bagi kaum muslimin, dengan bertanya apa yang belum diketahui menjadi mudah diketahui, apa yang belum jelas menjadi jelas dan apa yang diragukan menjadi tidak perlu diragukan lagi, bahkan dengan bertanya kita pula bisa mendapatkan jawaban atas penjelasan yang jauh lebih luas dari apa yang kita perkirakan. Ini semua menunjukkan bahwa para sahabat Nabi adalah orang-orang yang selalu ingin menyesuaikan diri dengan segala ketentuan Allah Swt sehingga untuk menghindari terjadinya penyimpangan atau mengambil kesimpulan sendiri secara salah pertanyaan diajukan untuk mendapatkan petunjuk jalan yang benar.
Salah satu dari sekian banyak ayat yang turun dengan sebab adanya pertanyaan dari sahabat adalah firman Allah yang artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang-orang yang mendo'a apabila ia berdo'a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran (QS 2:186).
Ayat tersebut turun karena ada sahabat yang bertanya tentang Allah itu jauh atau dekat. Rasulullah Saw balik bertanya: "Mengapa engkau bertanya demikian?”. Sahabat menjawab: "Ya Rasul, kalau jawaban engkau bahwa Allah itu jauh, saya akan berdo'a kepada-Nya dengan berteriak dan suara keras, tapi bila jawaban engkau bahwa Allah itu dekat, saya akan berdo'a dengan suara yang datar atau rendah”. Maka turunlah ayat itu untuk menegaskan bahwa Allah itu pada hakikatnya dekat dengan manusia.
Bentuk-bentuk pertanyaan dari para sahabat tidak hanya menyebabkan turunnya suatu ayat atau surat di dalam Al-, tapi juga terungkapnya hadits dari Rasulullah Saw yang di dalam ilmu hadits disebut dengan asbabul wurud. Pertanyaan dari para sahabat membuat Rasulullah Saw memberikan jawaban-jawaban yang sangat berharga, tidak hanya bagi para sahabat pada masa itu, tapi juga kita semua pada masa sekarang. Diantara contoh hadits yang terkait dengan pertanyaan sahabat adalah yang artinya: "Seorang Arab Badui bertanya: "Kapankah tiba hari kiamat?'. Nabi menjawab: "Apabila amanah telah diabaikan, maka tunggulah kiamat itu”. Orang itu bertanya lagi: "Bagaimanakah disia-siakannya amanah itu?”. Nabi Saw menjawab: "Apabila suatu perkara (urusan) diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat”. (HR. Bukhari).
METODE DIALOG
Dari ayat dan hadits di atas serta dalil-dalil lain yang tidak mungkin ditulis semua dalam kolom yang terbatas ini, kita bisa mengambil pelajaran yang sangat berharga betapa para sahabat merupakan orang-orang yang suka bertanya dan Rasulullah Saw juga senang dengan pertanyaan para sahabat, ini berarti terbuka kesempatan berdialog yang begitu luas pada masa Rasulullah Saw, bahkan dialog itu memang menjadi salah satu metode dalam da'wah dan pendidikan. Sebagai pemimpin, Rasulullah Saw mengembangkan dialog sehingga dari sini Rasulullah Saw juga mendapatkan masukan-masukan atau ide-ide cemerlang yang sedemikian berharga dalam mensukseskan perjuangan. Salman Al Farisi, ketika mendengar penjelasan Rasulullah Saw bahwa strategi perang yang akan dilakukan adalah bertahan dengan menunggu serangan musuh untuk selanjutnya dihalau, maka beliau bertanya kepada Rasulullah: "Apakah strategi ini memang berdasar wahyu atau gagasan engkau secara pribadi?”. Rasul menjawab: "Ini bukan berdasar wahyu”. Maka Salman mengusulkan agar tidak sekedar menunggu serangan, tapi harus membuat perangkap berupa parit dan usul inipun disepakati sehingga digalilah parit sebagai perangkap yang membentengi kaum muslimin, maka perang inipun disebut dengan perang khandaq (parit).
Dalam mendidik anggota keluarga, menciptakan suasana yang dialogis merupakan sesuatu yang amat penting sehingga kesadaran melaksanakan sesuatu yang baik dan benar tumbuh dari dalam jiwa masing-masing anggota keluarga, bahkan kita bisa mengetahui tidak hanya kesadaran yang tinggi, tapi ada nilai plus yang sama sekali tidak kita duga, inilah yang pernah dialami oleh Nabi Ibrahim As ketika berdialog dengan anaknya, Ismail As dalam menyampaikan perintah Allah Swt untuk menyembelih sang anak kesayangan itu. Ismail ternyata bukan hanya mempersilahkan bapaknya untuk melaksanakan perintah Allah, tapi nilai plus yang ditunjukkannya adalah bahwa kebaikan yang dilakukannya ini belumlah seberapa dibandingkan kebaikan generasi terdahulu, dalam hal ini adalah kesabaran, peristiwa yang mengagumkan ini difirmankan oleh Allah yang artinya: Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?”. Ia menjawab: Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS 37:102).
Dari penjelasan di atas, menjadi semakin jelas bagi kita betapa bertanya dan berdialog itu menjadi amat penting. Untuk memperbaiki diri kita masing-masing kita perlu memulai dengan bertanya dan berdialog kepada diri kita sendiri, inilah yang disebut dengan muhasabah (introspeksi diri). Pertanyaan yang harus kita ajukan pada diri kita antara lain: darimana saya berasal, untuk apa saya hidup, kemana saya akan kembali, apa saja yang sudah saya lakukan, apakah lebih banyak keshalehan daripada kesalahan yang saya tunjukkan, apa yang semestinya saya lakukan, bagaimana seharusnya saya menjalani kehidupan dan seterusnya.
Akhirnya, menjadi keharusan bagi kita untuk mengembangkan suasana yang dialogis dan amat penting bagi kita untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pertanyaan dalam upaya meningkatkan kualitas perjalanan hidup yang singkat ini.
Oleh :
Drs. H. Ahmad Yani

Mensucikan Diri

Mensucikan Diri Bersuci adalah membersikan diri, Pakaian dan tempat dari segala hadas dan najis. Untuk bersuci dari hadas haruslah melakukan Wudhu, Mandi wajib atau Tayammum. Sedangkan agar suci dari najis haruslah menghilangkan kotoran yang ada di badan, pakaian dan tempat yang bersangkutan.Perintah bersuci ini tersurat pada bagian akhir ayat 222 dari surat Al-Baqarah yang artinya :"sesungguhnya Allah SWT menyukai orang - orang yang bertaubat dan orang - orang yang mensucikan diri.".Air yang dapat dipakai bersuci adalah air bersih dari laut atau air yang keluar dari bumi dan belum dipakai, yaitu air sumur, air sungai, air telaga, air hujan, air embun dan air salju. Ditinjau dari hukumnya, air dibagi menjadi empat :1. Air Mutlak, yaitu air suci yang dapat dipakai mensucikan, karena belum berubah sifat (warna, rasa dan bau) nya. 2. Air Musyammas, yaitu air suci yang dapat dipakai mensucikan, namun makruh digunakan. Misalnya air bertempat dilogam yang bukan emas, karena terkena panas matahari. 3. Air Musta'mal, yaitu air suci tetapi tidak dapat dipakai untuk mensucikan karena sudah dipakai untuk bersuci, meskipun air tersebut tidak berubah warna, rasa dan baunya 4. Air Mutanajis, yaitu air yang terkena najis, dan jumlahnya kurang dari dua kullah (216 liter). Karenanya air tersebut tidak suci, dan tidak dapat dipakai mensucikan. Akan tetapi jika lebih dari dua kullah serta tidak berubah warna, rasa dan baunya, maka bisa digunakan untuk bersuci. Ada satu macam air lagi yang suci dan dapat digunakan untuk mensucikan, namun haram dipakai yaitu air yang diperoleh dengan cara ghasab (yakni mengambil tanpa ijin pemiliknya atau mencuri).A. Hadast Hadas menurut kamus Istilah Agama karya Drs. Shodiq SE adalah suatu keadaan tidak suci yang tidak dapat dilihat, tetapi wajib disucikan untuk sahnya ibadah : Hadas dibagi dua yaitu :1. Hadas kecil. Penyebabnya antara lain keluar sesuatu dari dubur atau qubul, menyentuh lawan jenis yang bukan muhrimnya dan tidur nyeyak dalam keadan tidak tetap. Cara membersihkan hadis ini ialah berwudhu. 2. Hadas besar/Jenabat/junub. Penyebanya antara lain : keluar air mani, bersetubuh, wanita habis melahirkan dan lain sebagainya. Cara mensucikan hadas besar ini adalah mandi wajib. B. Najis Najis adalah suatu benda kotor menurut syara' (hukum agama). Benda - benda najis meliputi :1. Darah 2. Nanah 3. Bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan laut, dan belalang 4. Anjing dan babi 5. Segala sesuatu yang keluar dari dubur dan qubul 6. Minuman keras, seperti arak dan sebagainya 7. Bagian anggota binatang yang terpisah karena dipotong dan sebagainya sewaktu masih hidup. Najis menurut tingkatannya dibagi tiga yaitu : 1. Najis Mukhaffafah (ringan) adalah air kencing bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun, dan belum makan sesuatu kecuali air susu ibunya. Cara menghilangkannya cukup diperciki air pada tempat yang terkena najis tersebut. 2. Najis Mutawashitha (Sedang) adalah segala sesuatu yang keluar dari dubur/qubul manusia atau binatang, barang cair yang memabukkan, dan bangkai (kecuali bangkai manusia, ikan laut dan belalang) serta susu, tulang dan bulu dari hewan yang haram dimakan, najis dibagi dua yaitu : Najis 'ainiyah yaitu najis yang berwujud (tampak dan dapat dilihat), misalnya kotoran manusia atau binatang. yang kedua Najis hukmiyah yaitu najis yang tidak berwujud (tidak tampak dan tidak terlihat), seperti bekas air kencing dan arak yang sudah mengering. Cara membersihkan Najis Muthawashithah cukup dibasuh tiga kali agar sifat-sifat najis (yakni warna, rasa dan bau) nya hilang. 3. Najis Mughalladhah (Berat) adalah najis anjing dan babi. Cara menghilangkannya harus dibasuh sebanyak tujuh kali dan salah satu diantaranya dengan air yang bercampur tanah. Selain tiga macam najis diatas, masih terdapat satu najis lagi yaitu : Ma'fu (Najis yang dima'afkan) antara lain Nanah atau darah yang cuma sedikit, debu atau air dari lorong-lorong yang memercik sedikit dan sulit dihindarkan.C. Istinja' Bersuci setelah buang air kecil atau air besar dinamakan istinja'. Dalam hal ini boleh memakai air atau dengan tiga buah batu. Tiga buah batu yang dimaksud, bisa berupa tiga buah batu atau satu batu yang memiliki tiga buah sisi (segi tiga). Dan yang dimaksud batu adalah benda padat yang kesat dan suci. Benda licin seperti kaca tidak sah dipakai untuk Istinja'. Hukum istinja' adalah wajib. Bagi yang tidak melakukannya maka berdosa. hal itu disandarkan pada sebuah hadist. Ketika Rasulullah melewati dua kubur, bersabda, "Dua orang yang ada dalam kubur ini disiksa. Yang seorang disiksa karena mengau-adu orang, dan yang seorang lagi karena tidak bersuci dari kencingnya." (sepakat ahli hadis).D. Wudhu Wudhu adalah salah satu cara bersuci dari hadas kecil sebelum mengerjakan ibadah shalat atau membaca Al-Qur'an. Perintah wajib wudhu ini memang turun bersamaan dengan perintah wajib shalat. Firman Allah SWT, "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu, kedua tanganmu sampai siku dan sapulah kepalamu serta basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki."(Q.S. Al-Maidah : 6). Sabda rasulullah saw. "Allah SWT tidak akan menerima shalat seseorang yang berhadas sehingga ia berwudhu." (H.R. Abu Daud).Syarat Wudhu ada 5 (lima)1. Islam 2. Sudah Baliqh 3. Tidak berhadas besar 4. Memakai air yang mutlak (suci dan dapat dipakai mensucikan) 5. Tidak ada yang menghalangi sampainya kekulit Rukun Wudhu ada 6 (Enam)1. Niat Kemudian dilanjutkan dengan bacaan : "Nawaitul wudluua liraf'il hadatsil ashghari fardlallillaahi ta'aalaa" artinya : "aku niat berwudlu' untuk menghilangkan hadats kecil fardu karena Allah"2. Membasuh muka sebatas dari tempat tumbuh rambut dikepala sampai kedua tulang dagu dan dari batas telingga kanan sampai batas telinga kiri. 3. Membasuh kedua tanggan sampai kedua mata siku. 4. Mengusap sebagian kepala dengan air. 5. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki. 6. Tertib (berurutan). Sunnah Wudhu ada 12 (dua belas)1. Diawali membaca Basmallah dalam hati. 2. Membasuh telapak tangan sampai pergelangan. 3. Berkumur 4. Menggosok gigi (bersiwak) 5. Membersihkan lobang hidung dengan air 6. Mengusap seluruh kepala dengan air 7. Mengusap kedua telinga bagian luar dan dalam 8. Menselai-selai jemari tangan dan jemari kaki 9. tidak berbicara 10. mendahulukan membasuh anggota badan bagian kanan 11. Membasuh anggota wudhu sampai tiga kali 12. membaca doa sesudah berwudhu. Tatacara Mengambil Wudhu 1. Membasuh kedua telapak tangan sampai kedua buku pergelangan dengan membaca "Bismillaa hirrachmanirrachiim" 2. Berkumur tiga kali, serta mengosok gigi
3. Membersihkan lobang hidung dengan air sebanyak tiga kali. 4. Membasuh muka tiga kali, serta niat didalam hati dan bantulah dengan ucapan : "Nawaitul wudluua liraf'il hadatsil ashghari fardlallillaahi ta'aalaa" artinya : "aku niat berwudlu' untuk menghilangkan hadats kecil fardu karena Allah"
5. Membasuh tangan kanan sampai siku tiga kali kemudian tangan kiri sebanyak tiga kali 6. Menyapu sebagian dari kepala atau keseluruhannya yakni dari muka sampai belakang sebanyak tiga kali.
7. Menyapu telinga kanan baik luar maupun dalam sebanyak tiga kali kemudian telinga kiri 8. Membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali kemudian kaki kiri.
Setelah selesai berwudlu' kita disunnatkan membaca do'a yang berbunyi sebagai berikut : "Asshadu allaa ilaaha illallaahu wachdahuu laa syariika lahuu wa asyhadu anna muchammadan 'abduhuu warasuuluh. Allahummaj'alnii minattawwaabiina waj'alni min "Artinya :"Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah yang esa, tidak ada sekutu bagiNya. Dan saya bersaksi bahwa Muhamad adalah hamba dan pesuruhNya. Wahai Allah jadikanlah saya termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah saya termasuk orang-orang yang suci" serta jadikanlah saya termasuk golongan hamba-hambaMu yang shalih"Perkara yang dapat membatalkan Wudhu ada 5 (lima)1. Keluar sesuatu dari dua pintu (kubul dan dubur) atau salah satu dari keduanya baik berupa kotoran, air kencing , angin, air mani atau yang lainnya. 2. Hilangnya akal, baik gila, pingsan ataupun mabuk. 3. Bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan kecuali mereka itu masih muhrim. 4. Menyentuh kemaluan atau pintu dubur dengan bathin telapak tangan, baik milik sendiri maupun milik orang lain. Baik dewasa maupun anak-anak. 5. Tidur, kecuali apabila tidurnya dengan duduk dan masih dalam keadaan semula (tidak berubah kedudukannya). E. Tayammum Apabila kita didalam perjalanan atau kita mendapatkan air ataupun sedang sakit yang menurut dokter tidak boleh menggunakan air, maka sebagai pangganti wudlu' atau mandi kita boleh tayamum (yaitu menyapukan debu yang suci kemuka dan dua tangan sampai siku-siku disertai dengan niat). Tayamum baru dianggap sah apabila syarat-syarat dibawah ini terpenuhi.Syarat-syarat tayammum1. Sudah masuk waktu shalat 2. Tidak ada air dan sudah diusahakan mencarinya (syarat ini tidak berlaku untuk orang sakit) 3. Sakit, sehingga jika memakai air takut penyakitnya bertambah parah. 4. Sedang dalam perjalanan. Firman Allah SWT : "... Jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau sehabis buang air atau menyentuh wanita lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah/debu yang baik (bersih dan suci). Sapulah mukamu dan tangganmu dengan tanah itu."(Q.S. Al-Maidah : 6) 5. Memakai Tanah suci dan berdebu. Rukun Tayammum ada 4 (empat)1. Niat 2. Menyapu muka dengan tanah 3. Menyapu kedua tangan sampai siku dengan tanah 4. Tertib atau berurutan Sunnah Tayammum ada 2 (dua)1. Mengawali dengan bacaan Basmallah dalam hati. 2. Mendahulukan anggota badan sebelah kanan. Hal-hal yang membatalkan tayammum sama dengan yang membatalkan wudhu.F. Mandi wajib atau Sunnah Mandi wajib adalah keharusan mandi sebagai suatu cara untuk bersuci bagi seseorang yang menanggung hadas besar atau sedang junub. Firman Allah SWT. "Apabila kamu junub, maka mandilah / bersuci" (Q.S. Al-Maidah : 6)Perbuatan yang mengharuskan kita mandi1. Bersetubuh, baik mengeluarkan mani atau tidak. 2. Keluar air mani baik disengaja atau tidak. 3. Meninggal dunia harus dimandikan, kecuali mati syahid 4. Sehabis masa haid / Menstruasi bagi wanita 5. Nifas, yaitu mengeluarkan darah setelah melahirkan. Rukun Mandi ada 3 (tiga)1. Niat 2. Menghilangkan kotoran dan najis pada badan 3. Membasuh seluruh tubuh. Sunnah Mandi ada 5 (lima)1. Diawali membaca basmallah dalam hati 2. mengosok seluruh tubuh dengan tangan 3. Mendahulukan bagian yang kanan dari yang kiri 4. Berwudhu sebelum mandi 5. Tertib atau berturut-turut. Selain mandi wajib, ada juga mandi-mandi sunnah, yaitu :1. Mandi bagi orang yang akan melaksanakan shalat Jum'at 2. Mandi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha 3. Mandi bagi orang yang baru sembuh dari gila 4. Mandi menjelang Ihram haji dan Umrah 5. Mandi sehabis memandikan mayat 6. Mandi bagi orang kafir yang baru masuk Islam.

Kamis, 11 September 2008

MEREVIE PEMAKNAAN AYAT-AYAT SHAUM

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

dakwatuna.com - “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Al-Baqarah: 183)

Merupakan satu rahmat Allah swt. bahwa Ayatus Shiyam, yaitu ayat-ayat yang berbicara tentang puasa dalam berbagai pembahasannya dapat dengan mudah ditemukan karena berada pada satu surah secara berurutan di dalam surah Al-Baqarah dari ayat 183 hingga ayat 187. Dan ayat di atas merupakan ayat pertama yang menjadi landasan qath’i –pasti- atas kewajiban puasa bagi seluruh umat Islam.

Dari kelima ayat yang berada dalam susunan ayatus shiyam, ternyata terdapat satu ayat yang berbeda dari segi pembahasannya. Ayat ini justru berbicara tentang kedekatan Allah dengan hamba-hamba-Nya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (Al-Baqarah: 186). Meskipun demikian, masih tetap dapat ditemukan korelasi ayat ini dengan keempat ayatus shiyam.

yang mulia dan ia diberi kesempatan untuk memilih diantara bidadari yang ia inginkan”.

Secara korelatif juga, ayat yang mendampingi sesudah ayatus shiyam ternyata berbicara dalam konteks menahan diri, terutama dari harta orang lain yang bukan miliknya,

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188).

Demikian juga dengan ayat yang mendampingi sebelumnya yaitu ayat 181-182 yang berbicara tentang harta pusaka yang dikhawatirkan terjadi penyelewengan padanya.

Makna lain yang cukup fenomenal yang bisa disaksikan sepanjang bulan puasa adalah makna ukhawi, dalam arti kebersamaan dan solidaritas. Dr. Sayyid Nuh dalam bukunya, Al-Fardhiyah wal-Jamaa’iyah fil-Insan menyatakan:

“Ibadah puasa adalah bentuk ibadah kebersamaan umat Islam, sekaligus persamaan dalam menahan rasa lapar dan dahaga pada waktu tertentu.”.

Dalam skala keluarga, pembiasaan bangun malam yang diteruskan dengan sahur bersama seluruh anggota keluarga di bulan Ramadhan harus menjadi agenda harian dari makna ukhawi yang berkesinambungan. Ditambah dengan momen silaturahim yang banyak berlangsung sepanjang bulan Ramadhan dalam bentuk buka bersama misalnya merupakan nilai yang luhur dari pemaknaan Ramadhan.

Rasulullah saw. sendiri merupakan contoh ideal sepanjang zaman:

“Rasulullah saw adalah orang yang paling pemurah, terlebih lagi di bulan Ramadhan. Bulan dimana beliau selalu ditemui oleh Jibril. Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan untuk bertadarrus Al-Qur’an. Sungguh bila Rasulullah bertemu dengan Jibril, beliau lebih pemurah lagi melebihi hembusan angin kencang.” (H.R. Muttafaq Alaih)

Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa beberapa sahabat pernah mengadu kepada Nabi saw.,

“Wahai Rasulullah, kami makan tapi tidak kenyang?” Beliau berkata, “Semoga ini karena kalian makan sendirian”. Mereka berkata, “ya.” Rasulullah bersabda, “Berkumpulah pada makanan kalian (makan bersama) dan sebutlah nama Allah, semoga Dia akan memberi berkah kepada kalian.” (Muttafaq Alaih).

Bahkan belajar suatu ilmu dan mengajarkannya tidak ada berkah padanya kecuali dilakukan dengan bersama. Nabi saw. Bersabda:

“Tidaklah berkumpul suatu kaum di rumah dari rumah-rumah Allah ta’ala dengan membaca Kitabullah dan mempelajarinya satu sama lain antara mereka, kecuali akan diturunkan kepada mereka ketenangan, mereka diselimuti rahmat dan malaikat mengelilingi mereka, serta Allah menyebut mereka di sisi-Nya.” (HR. Abu Daud)

Demikian, Islam memandang kebersamaan umat Islam merupakan suatu tuntutan yang sangat urgen. Karena manusia jika tidak bersama dalam kebenaran, maka mereka akan bersama dalam kebatilan. Begitu pula, jika mereka tidak berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat, mereka pasti akan bersaing dalam mendapatkan perhiasan dunia. Berulang kali perintah Allah swt. tidak ditujukan secara redaksional kepada individu (perorangan), baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Tetapi ditujukan kepada seluruh orang yang beriman, dengan bentuk pengajaran dan petunjuk. Termasuk dalam perintah puasa, “Wahai sekalian orang-orang yang beriman”.

Mudah-mudahan semakin banyak pemaknaan yang kita lakukan terhadap Ayatus shiyam, maka akan semakin dapat memperkuat motivasi kita untuk melaksanakan seluruh paket Ramadhan dengan baik dan berkesinambungan sehingga kita termasuk di antara golongan yang mampu meraih predikat takwa yang dijanjikan Allah swt. Amin. Allahu a’lam

MENUNAIKAN AMANAH KEPEMIMPINAN

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu sekalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu dan sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (An-Nisa’ : 58).

Ayat ini meskipun menggunakan redaksi yang umum “kepada kamu sekalian”, namun secara lebih khusus pembicaraan ayat ini ditujukan kepada para pemimpin dan penguasa seperti yang dipahami oleh Muhammad bin Ka’ab dan Zaid bin Aslam yang dinukil oleh Ibnu Katsir.

Pemahaman seperti ini sangat tepat, karena merekalah yang memiliki amanah yang besar untuk ditunaikan sehingga mereka diminta untuk menjaga amanah dan pemerintahan tersebut dengan benar dan adil. Jika amanah dan keadilan disia-siakan, maka umat manusia akan binasa dan negeri ini akan hancur.

Rasulullah saw mengingatkan dalam sebuah haditsnya, “Bila amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancurannya. Dikatakan, bagaimana bentuk penyia-nyiaannya?. Beliau bersabda, “Bila persoalan diserahkan kepada orang yang tidak berkompeten, maka tunggulah kehancurannya”. (Bukhari dan Muslim).

Sayid Quthb dalam tafsir fi Dzilalil Qur’an menyimpulkan bahwa amanah yang dimaksud oleh ayat ini harus diawali dengan amanah yang paling besar yang tidak mampu diemban oleh langit, bumi dan gunung sebelumnya
Allah swt berfirman: “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” QS. Al Ahzab: 72.

Karena dengan terlaksananya amanah kepemimpinan dengan baik, maka akan terealisir secara otomatis amanah-amanah yang lain, baik terkait dengan amanah kepada Allah swt maupun amanah yang berhubungan dengan sesama hamba dan dengan diri sendiri.

Perintah amanah inilah yang berlaku universal kepada siapapun tanpa melihat sifat dan keadaan orang tersebut.

Maimun bin Mahran mengatakan, “Tiga hal yang harus ditunaikan, baik kepada orang yang berbakti maupun kepada pelaku maksiat: amanah, janji dan silaturahim”.

Amanah kepemimpinan menjadi prioritas dari ayat di atas dilihat dari keterkaitan antara kalimat dalam ayatnya dengan menggunakan wau athaf. Bahwa Allah swt menyebutkan perintah “untuk menetapkan hukum diantara manusia dengan adil” setelah perintah menunaikan amanah. Padahal memutuskan hukum diantara manusia merupakan diantara tugas dan kewajiban seorang pemimpin
Ditambah lagi bahwa pada ayat selanjutnya, yaitu pada surah An-Nisa’ : 59, Allah swt menetapkan manhaj dan nilai yang harus dipegang dalam konteks kepemimpinan yaitu taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta para pemimpin yang telah ditunjuk atau dipilih dengan benar.

Allah swt menegaskan, “Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul-Nya, serta Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan kepada Rasul (As-Sunnah) jika kalian benar-benar orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat”. QS. An Nisa’: 59.

Imam Ar-Razi memahami ayat di atas dengan melihat korelasi yang erat dengan ayat sebelumnya bahwa setelah Allah swt menggambarkan beberapa karakteristik orang-orang kafir dan ancaman azab untuk mereka, Allah swt kembali menyebutkan beberapa kewajiban dan tugas orang-orang beriman. Begitu juga setelah Allah swt menyebutkan pahala yang besar bagi amal sholeh yang dilakukan oleh orang yang beriman, maka Allah swt menyebutkan bahwa amal sholeh yang terbesar adalah menunaikan amanah dan berlaku adil dalam memutuskan perkara diantara manusia tanpa terkecuali.

Inilah bentuk amal sholeh yang terbesar dan harus dilakukan oleh setiap manusia sesuai dengan proporsi dan tingkatan amanah yang diembannya. Bahkan dengan tegas Rasulullah saw menafikan iman dari orang yang tidak bisa menjaga amanah dengan baik, “Tidak ada agama bagi orang yang tidak bisa menunaikan amanah”. HR. Ahmad dan Al Baihaqi
Perihal pentingnya kepemimpinan dinyatakan tegas oleh Ibnu Taimiyah:

”Penunjukkan seseorang sebagai pemimpin merupakan salah satu tugas agama yang paling besar. Bahkan agama tidak akan tegak, begitu juga dunia tidak akan baik tanpa keberadaan pemimpin. Kemaslahatan umat manusia tidak akan terwujud kecuali dengan menata kehidupan sosial, karena sebagian mereka memerlukan sebagian yang lain. Dalam konteks ini, kehidupan sosial tidak akan berjalan dengan baik dan teratur tanpa keberadaan seorang pemimpin”.

Imam Ghazali menegaskan, “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang sedangkan penguasa adalah penjaganya. Bangunan tanpa tiang akan roboh dan apa yang tidak dijaga akan hilang. Keteraturan dan kedisiplinan tidak akan terwujud kecuali dengan keberadaan penguasa”.

Dalam sejarah Islam yang layak dijadikan panutan, bahwa persoalan kepemimpinan merupakan persoalan yang pertama mendapat perhatian dari para sahabat Rasul setelah Rasulullah saw wafat, adalah memilih pemimpin pengganti Rasulullah saw. Bahkan mereka mendahulukan menyelesaikan persoalan ini dari pada mengubur jasad Rasulullah saw. Kemudian para sahabat sepakat membai’at Abu Bakar dan menyerahkan kepemimpinan kepadanya
baik. Islam membenci kesemrawutan dan kekacauan dalam segala hal. Sampai dalam sholat, Rasulullah saw menyuruh untuk menyamakan dan meluruskan shaf dan mendahulukan orang yang lebih baik ilmu dan bacaannya untuk menjadi imam. Bahkan dalam perjalanan biasa, Rasulullah saw berpesan untuk mengangkat pemimpin diantara mereka yang melakukan perjalanan bersama.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah saw bersabda: “Tidak dibenarkan tiga orang bepergian di tengah padang pasir yang tandus, kecuali jika mereka mengangkat salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin)”.

Disinilah urgensi kepemimpinan dalam Islam. Kebaikan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kebaikan roda kepemimpinan yang dijalankan di dalamnya. Islam menaruh perhatian yang besar dalam persoalan kepemimpinan. Karenanya ukuran kebaikan sebuah bangsa turut ditentukan dengan kualitas dan nilai kepemimpinan yang dianutnya. Rasulullah saw menyebutkan seperti yang diriwayatkan oleh sahabat Anas bin Malik ra, “Umat ini masih akan tetap terjaga kebaikannya jika selalu jujur dalam ucapannya, adil dalam keputusan hukumnya dan saling berkasih sayang diantara mereka”. Allahu A’lam.

Rabu, 10 September 2008

Ajari Kami





Ajari kami lewat suaramu
Akan arti setiap ejaan kata-kata
Hingga terucap suara santun
Dan keberkahan senantiasa ada

Ajari kami lewat hatimu
Akan arti setiap nurani kalbuku
Hingga jiwa-jiwa menyatu
Dengan keharibaan Tuhanku

Ajari kami lewat nafasmu
Akan arti setiap desahan nafas
Hingga kulewati saat bahagia
Saat ruh melepas raga

Ajari kami lewat tanganmu
Akan arti setiap genggaman
Hingga dunia tak kan ada
Rasa benci dan permusuhan

Ajari kami lewat puisimu
Akan arti setiap tulisan kata
Hingga pena ini terkulai
Menulis bait-bait kebenaran

Ajari kami……………..mengenal Tuhan
Dan pentingnya berma’rifat kepada-Nya
Ajari kami……………..mengenal Tuhan
Dan cara-cara bersujud bermunajat

Ajari kami berucap Alif, ba, ta, tsa
Akan arti setiap bilangan kata
Hingga mulut senantiasa
Mengalunkan tartilul Qur’an

Ajari kami……
Ajari kami…..
Ajari Kami…..

Setiap langkah bermakna menuju Yang Maha Esa

Selamat Ulang Tahun untuk Kakakku Zulfa



Harits & Wildan


Tadabur surat Ali Imran 190-191


“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan lanjut dan bumi (seraya berkata), “Ya Robb kami, tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka dipeliharalah kami dari siksa neraka.”(QS.3:190-191)
Salah satu cara mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah adalah dengan membaca dan merenungkan ayat-ayat-Nya yang terbentang di alam semesta. Dalam ayat ini, Allah menyuruh manusia untuk merenungkan alam, langit dan bumi. Langit yang melindungi dan bumi yang terhampar tempat manusia hidup. Juga memperhatikan pergantian siang dan malam. Semuanya itu penuh dengan ayat-ayat, tanda-tanda kebesaran Allah SWT.Langit adalah yang di atas yang menaungi kita. Hanya Allah yang tahu berapa lapisnya, yang dikatakan kepada kita hanya tujuh. Menakjubkan pada siang hari dengan berbagai awan germawan, mengharukan malam harinya dengan berbagai bintang gemintang.Bumi adalah tempat kita berdiam, penuh dengan aneka keganjilan. Makin diselidiki makin mengandung rahasia ilmu yang belum terurai. Langit dan bumi dijadikan oleh Al-Khaliq tersusun dengan sangat tertib. Bukan hanya semata dijadikan, tetapi setiap saat nampak hidup. Semua bergerak menurut aturan.Silih bergantinya malam dan siang, besar pengaruhnya atas hidup kita dan segala yang bernyawa. Kadang-kadang malam terasa panjang dan sebaliknya. Musim pun silih berganti. Musim dingin, panas,gugur, dan semi. Demikian juga hujan dan panas. Semua ini menjadi tanda-tanda kebesaran dan keagungan Allah bagi orang yang berpikir. Bahwa tidaklah semuanya terjadi dengan sendirinya. Pasti ada yang menciptakan yaitu Allah SWT.Orang yang melihat dan memikirkan hal itu, akan meninjau menurut bakat pikirannya masing-masing. Apakah dia seorang ahli ilmu alam, ahli ilmu bintang, ahli ilmu tanaman, ahli ilmu pertambangan, seorang filosofis, ataupun penyair dan seniman. Semuanya akan terpesona oleh susunan tabir alam yang luar biasa. Terasa kecil diri di hadapan kebesaran alam, terasa kecil alam di hadapan kebesaran penciptanya. Akhirnya tak ada arti diri, tak ada arti alam, yang ada hanyalah Dia, Yang Maha Pencipta. Di akhir ayat 190, manusia yang mampu melihat alam sebagai tanda-tanda kebesaran dan keagungan-Nya, Allah sebut sebagai Ulil Albab (orang-orang yang berpikir).Dalam ayat 191, diterangkan karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.Dzikir, secara bahasa berasal dari kata dzakara , tadzakkara, yang artinya menyebut, menjaga, mengingat-ingat. Secara istilah dzikir artinya tidak pernah melepaskan Allah dari ingatannya ketika beraktifitas. Baik ketika duduk, berdiri, maupun berbaring. Ketiga hal itu mewakili aktifitas manusia dalam hidupnya. Jadi,dzikir merupakan aktivitas yang harus selalu dilakukan dalam kehidupan. Dzikir dapat dilkukan dengan hati,lisan, maupun perbuatan. Dzikir dengan hati artinya kalbu manusia harus selalu bertaubat kepada Allah, disebabkan adanya cinta, takut, dan harap kepada-Nya yang berhimpun di hati (Qolbudz Dzakir). Dari sini tumbuh keimanan yang kokoh, kuat dan mengakar di hati. Dzikir dengan lisan berarti menyebut nama Allah dengan lisan. Misalnya saat mendapatkan nikmat mengucapkan hamdalah. Ketika memulai suatu pekerjaan mengucapkan basmalah. Ketika takjub mengucapkan tasbih. Dzikir dengan perbuatan berarti memfungsikan seluruh anggota badan dalam kegiatan yang sesuai dengan aturan Allah.Fikir, secara bahasa adalah fakara, tafakkara yang artinya memikirkan, mengingatkan, teringat. Dalam hal ini berpikir berarti memikirkan proses kejadian alam semesta dan berbagai fenomena yang ada di dalamnya sehingga mendapatkan manfaat daripadanya dan teringat atau mengingatkan kita kepada sang Pencipta alam, Allah SWT.Dengan dzikir manusia akan memahami secara jelas petunjuk ilahiyah yang tersirat maupun yang tersurat dalam al-Qur’an maupun as-sunnah sebagai minhajul hayah (pedoman hidup). Dengan fikir, manusia mampu menggali berbagai potensi yang terhampar dan terkandung pada alam semesta. Aktivitas dzikir dan fikir tersebut harus dilakukan secara seimbang dan sinergis (saling berkaitan dan mengisi). Sebab jika hanya melakukan aktivitas fikir, hidup manusia akan tenggelam dalam kesesatan. Jika hanya melakukan aktivitas dzikir, manusia akan terjerumus dalam hidup jumud (tidak berkembang, statis). Sedangkan, jika melakukan aktivitas dzikir dan fikir tetapi masing-masing terpisah, dikhawatirkan manusia akan menjadi sekuler.
Bagi Ulil Albab, kedua aktivitas itu akan berakhir pada beberapa kesimpulan:· Allah dengan segala kebesaran dan keagungan-Nya adalah pencipta alam semesta termasuk manusia.· Tiada yang sia-sia dalam penciptaan alam.Semua mengandung nilai-nilai dan manfaat.· Mensucikan Allah dengan bertasbih dan bertahmid memuji-Nya.· Menumbuhkan ketundukan dan rasa takut kepada Allah dan hari Akhir.