Senin, 15 Desember 2008

Ihsan


Apa sih sebenarnya makna ‘ihsan’ itu? Kita sering sekali mendengar kata ini, atau membicarakannya pada orang lain. Tapi sebenarnya apa ya maknanya?
Kenapa sangat penting membahas arti kata ‘ihsan’? Karena sebagaimana diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw (dalam hadits Bukhari 1 : 47), ‘Ihsan’ adalah salah satu dari tiga komponen yang membentuk ad-diin kita, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Jika satu komponen saja tidak ada, atau tidak paham, maka kita belum ber-diin dengan sempurna.
Jika kita sudah paham makna ‘ihsan’, kita juga akan bisa meraba maksud makna kata-kata turunannya seperti ‘hasan’, ‘ahsan’, ‘muhsin’, ‘hasanah’, dan lain sebagainya.
Umumnya kita secara awam mengartikan kata ‘ihsan’, ‘hasan’, ‘ahsan’ dan semua kata yang berkaitan, dihubungkan dengan kata ‘baik’ sebagaimana tertulis di kamus bahasa Arab. Jika ‘ihsan’ di sana diartikan ‘baik’, maka ‘muhsin’ adalah ‘orang yang baik’, atau ‘orang yang suka berbuat baik’, dan seterusnya. Oke, itu tidak salah sih. Tapi apa bedanya ‘ihsan’ atau ‘hasan’, dengan ‘khair’ (baik)? Masalahnya, istilah Arab dalam Qur’an itu sama sekali bukan bahasa Arab sehari-hari, sehingga beresiko tidak akurat, kabur atau terlalu umum jika diterjemahkan melalui kamus bahasa Arab sehari-hari.Contoh, Q. S. Al-Baqarah [2] : 195:
“Innallaha yuhibbul-muhsiniin.”
Sesungguhnya Allah mencintai Al-Muhsiniin.
Jika ‘Al-muhsiniin’ diterjemahkan menjadi ‘orang-orang yang berbuat baik’ sesuai kamus bahasa Arab sehari-hari, maka artinya menjadi ’sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.’ Bener? Bener sih, nggak salah juga. Tapi kurang presisi, kurang akurat jadinya. Terlalu umum. ‘Berbuat baik’ itu sebaik apa? Koruptor, jika habis korupsi berbuat baik, apa iya jadi dicintai Allah? Pelacur, pezina, perampok, juga banyak yang baik, atau berbuat baik. Apa iya mereka dicintai Allah? Segampang itu?
Atau kita deh, yang merasa diri kita sebagai orang baik. Apa kita dicintai Allah, seperti cinta Allah pada para kekasih-Nya? Kok kita yang merasa sebagai ‘orang baik’ ini mau khusyu’ saja susah, kalau berdoa jarang makbul, hehe… Kok ya masih berani merasa diri menjadi bagian dari para muhsiniin sih… hehehe. Atau kadang-kadang kalau kebetulan pas baca ayat tentang ‘orang-orang yang berbuat baik’ pasti ngerasanya Qur’an lagi bicara tentang kita, hehehehe….
Contoh lain, sebuah hadits:
‘Dari Abu Darda`, Nabi Saw bersabda “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam mizan (timbangan kebajikan pada hari kiamat) selain dari husnul khuluq (diterjemahkan: akhlak yang baik).” (H.R. Abu Daud 4799 dan Tirmizi 2002 - Hadits hasan shahih).
‘Husnul Khuluq’, jika diterjemahkan menjadi ‘akhlak yang baik’, ya benar sih (‘husn’ = baik). Tapi sebaik apa? Koruptor atau perampok di contoh tadi, masak iya jika gemar korupsi atau gemar merampok tapi berakhlak baik, maka timbangan kebaikannya di hari kiamat nanti menjadi paling berat? Coba tanya ke nurani kita sendiri.
Jadi ihsan, hasan, muhsin, dan sebagainya itu walaupun memang hubungannya dengan ‘baik’, tapi jika konteksnya adalah kualitas sebuah sikap, maka ‘ihsan’ itu baik yang sekualitas apa? ‘Baik’ yang seberapa baik?
Kalau kita kembali ke hadits Bukhari 1 : 47 yang paling atas tadi, di sana Jibril as. dan Rasulullah Saw. mengajarkan makna ihsan pada para sahabatnya. Hadits ini adalah hadits yang terkenal sekali, dan saya yakin sahabat sekalian sudah pernah membacanya. Jadi disini haditsnya saya ringkas saja, karena aslinya hadits tersebut sangat panjang.
Jadi ketika itu, Rasulullah saw sedang bersama para sahabatnya. Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki yang sangat tampan yang tidak mereka kenal wajahnya. Ia berpakaian sangat bersih, seperti bukan orang yang baru tiba dari perjalanan, walaupun dari wajahnya para sahabat tahu bahwa ia bukanlah penduduk sekitar. Lalu lelaki itu bertanya pada Rasulullah Saw., “Apakah iman itu?” Rasulullah menjawab dengan menyebutkan rukun iman.
Lelaki itu bertanya lagi, “Apakah Islam itu?” Dan Rasulullah pun menjawab dengan menyebutkan rukun Islam. Pada pertanyaan yang ketiga, lelaki itu bertanya, “Apakah ihsan itu?”
Jawab Rasulullah,
“Anta’budallah ka annaka taraah, fa’illam takun taraah, fa’innahu yaraak.”
“Engkau mengabdi kepada Allah seperti engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”
Setelah ini ada beberapa dialog lagi, kemudian lelaki itu pergi. Ketika para sahabat mencarinya dan tidak berhasil menemukannya, dengan keheranan mereka menyampaikannya pada Rasulullah karena lelaki itu menghilang demikian cepat. Jawab Rasulullah, “Dia Jibril, yang datang untuk mengajarkan manusia (para sahabatnya) tentang diin mereka.” Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari.
Nah, itulah ‘ihsan’. Ihsan kualitas yang pertama, adalah sebuah kualitas pengabdian seperti ketika kita telah melihat-Nya. Sedangkan ihsan kualitas yang kedua, adalah sekualitas ketika kita telah merasakan sepenuhnya bahwa Dia melihat kita, meskipun kita tidak (belum) melihat-Nya.
Jika kita telah melihat-Nya, mana bisa kita tidak mencintai-Nya? Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya? Mana bisa kita tidak rindu kepada-Nya, tidak ingin tunduk kepada-Nya? Dia yang tak terbatas, Mahaindah, Mahatinggi, Mahapengasih, Mahapenyayang. Mana bisa kita tidak takjub kepada-Nya dan tidak mencintai-Nya, jika sudah mengenal-Nya? Bayangkan, bagaimana kira-kira kualitas pengabdian dari seseorang yang sudah merasa takjub kepada-Nya. Itu Ihsan dalam kualitasnya yang pertama.
Kalau pun kita belum melihat-Nya, ihsan kualitas kedua adalah ketika dalam setiap nafas kita, setiap saat, sepanjang jasad ini masih bernafas dan jantung masih berdetak, tidak sesaat pun diri kita pernah lepas dari kesadaran bahwa Dia melihat kita. Kesadaran yang tidak pernah putus, biar kita sedang dalam saat orgasme sekalipun. Kita ‘tenggelam’ dalam sebuah pemahaman bahwa kita ada dalam pengawasan-Nya, penjagaan-Nya, perlindungan-Nya, tuntunan-Nya. Padahal Dia adalah dzat yang tidak mengantuk, tidak tidur, dan tidak lalai.
Nah, seseorang dengan kualitas ihsan yang seperti ini, masih mungkinkah dia bermaksiat? Masih mungkinkah dia berkeluh kesah, tidak bersyukur? Mana bisa dia bertindak tidak santun dan sembarangan? Apa bisa orang yang sudah ada dalam penjagaan-Nya dan perlindungan-Nya sepenuhnya seperti ini, menjadi murung dan tidak bahagia? Kira-kira, bagaimana akhlaq dari orang yang ada di ihsan kualitas kedua ini?
Jadi kenapa Allah mencintai para Al-Muhsiniin, seperti disebut di Al-Baqarah [2] : 195 tadi? Jelas, karena mereka memiliki kualitas pengabdian yang seperti itu, lebih dari sekedar ‘orang baik’ atau ’suka berbuat baik’. Dan, Ihsan atau hasan lebih dari sekedar khair (baik).
Sekarang pun lebih jelas makna hadits dari Abu Daud dan Tirmidzi tadi, bahwa ‘tidak ada yang lebih berat dalam mizan, selain husnul-khuluq (akhlaq yang ihsan)’. Tentu saja, karena husnul-khuluq adalah akhlaq yang terbangun dalam diri seseorang karena seseorang melihat-Nya, atau setidaknya akhlaq yang terbangun adalah karena dia telah sepenuhnya ‘tenggelam’ dalam kesadaran bahwa Allah melihatnya. Husnul-khuluq bukan sekedar ‘akhlaq yang baik’.
Nah, dari arti ‘ihsan’ yang diajarkan Jibril as. dan Rasulullah Saw, kita sudah bisa memahami makna kata ‘muhsin’ dan ‘husn’ dengan sedikit lebih presisi lagi, bukan sekedar bermakna makna ‘baik’ dalam pengertian umum. Sekarang, kita bisa juga meraba makna kata-kata turunannya dalam Al-Qur’an, misalnya ‘ahsan’, ‘hasan’, ‘hasanah’, dan seterusnya.
Jadi kalau Qur’an menyebut ‘orang-orang yang ihsan‘ atau muhsiniin, itu kita bukan? Lha monggo kita tanya ke nurani kita masing-masing.
Oh ya, kita sekarang jadi lebih mengerti makna dari kalimat “kematian yang ‘husnul-khatimah’” kan? (‘khatam’ : akhir, selesai, penutup)
Semoga kita dijadikan-Nya termasuk kedalam Al-Muhsiniin dan diberi-Nya kematian yang husnul-khatimah.
Semoga bermanfaat.Wassalaamu ‘alaikum Wr. Wb.
Herry Mardian