Senin, 21 September 2009

Sejalan dengan berlalunya Ramadhan tahun ini
Kemenangan akan kita gapai
Dalam kerendahan hati ada ketinggian budi
Dalam kemiskinan harta ada kekayaan jiwa
Dalam kesempatan hidup ada keluasan ilmu
Hidup ini indah jika segala karena ALLAH SWT
Kami sekeluarga menghaturkan
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1430 H
Taqobalallahu minna wa minkum
Mohon maaf lahir dan bathin

Sabtu, 05 September 2009

KEMENANGAN HAKIKI

Setelah sebulan penuh melaksanakan puasa Ramadhan, umat Muslim melaksanakan Hari Raya Idul Fitri sebagai hari penuh kegembiraan. Wajarlah kaum Muslim merasa gembira pada saat hari raya tersebut. Namun, kegembiraannya bukanlah karena pesta dan hiburan; bukan pula karena telah bebas dari kungkungan puasa. Sebab, kebahagian seperti itu merupakan kebahagiaan yang lahir dari keterpaksaan, atau setidaknya, bahagia jauh dari kewajiban. Kebahagiaan yang ada adalah kebahagiaan karena telah berhasil menunaikan salah satu kewajiban dan kesiapan untuk menunaikan kewajiban-kewajiban berikutnya sehingga menjadikan Idul Fitri lebih bermakna.

Seperti diketahui, Idul Fitri atau Lebaran ada setelah ditunaikan puasa Ramadhan. Dengan kata lain, hari raya tersebut merupakan hari pertama setelah proses puasa selesai. Lantas, produk apa yang dihasilkan dalam proses puasa tersebut?

Orang yang menunaikan puasa dengan benar sejatinya menjadi orang yang bertakwa, yakni orang yang memelihara dirinya dari kemaksiatan. Sebab, puasa itu mematahkan syahwat sebagai pangkal kemaksiatan.

Berdasarkan hal tersebut maka Idul Fitri tersebut harus dipandang sebagai kelahiran kembali orang-orang yang mendapatkan ampunan dari Allah Swt dan menjelma menjadi orang bertakwa. Lebaran bukanlah akhir dari ketaatan, melainkan awal dari ketakwaan baru. Karenanya, Lebaran akan bermakna hanya jika setiap Muslim menampakkan ketakwaan tersebut dalam aktivitasnya sehari-hari.

Pada saat Idul Fitri wajah kaum Muslim tampak memancarkan kebahagiaan sebagai lambang kemenangan. Hari itu kaum Muslim memproklamirkan kemenangannya atas hawa nafsunya. Rasa syukur diwujudkan dengan lebih mengukuhkan kembali silaturahmi dengan handai taulan dan silah ukhuwah (tali persaudaraan) dengan kaum Muslim yang lain. Sejatinya, suasana yang subur dengan kebahagiaan dan hangatnya ukhuwah pada Hari Raya Idul Fitri ini dapat menumbuhkan ghîrah (semangat) baru untuk bersama-sama menata kembali kehidupan. Sebab, Idul Fitri merupakan hari pertama pasca Ramadhan; kaum Muslim mengawali hari-hari berikutnya dalam 11 bulan ke depan. Sudah sepatutnya mereka, sejak hari pertama itu melakukan muhâsabah (perenungan) secara menyeluruh terhadap kondisi yang dialami bangsa ini. Kemudian akan memberikan kesadaran tentang realitas dan langkah-langkah perubahan yang harus dilakukan pada 11 bulan berikutnya, dengan bekal ketakwaan yang telah dipupuk selama Ramadhan.

Kebahagiaan dalam Penderitaan

Kaum Muslim yang berpuasa Ramadhan memang patut berbahagia merayakan Idul Fitri. Namun, secara faktual, kondisi bangsa kita saat ini sebetulnya jauh dari membahagiakan sebagaimana kebahagiaan pada saat merayakan Idul Fitri.

Semua orang tahu, alam Indonesia sangat kaya. Areal hutannya termasuk paling luas di dunia, tanahnya subur, dan alamnya indah. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut yang luar biasa. Wilayah perairannya sangat luas; kandungan ikannya diperkirakan mencapai 6,2 juta ton, belum lagi kandungan mutiara, minyak, dan kandungan mineral lainnya; di samping keindahan dan kekayaan alam bawah laut yang begitu melimpah.

Akan tetapi negeri kita Indonesia, saat ini termasuk dalam kelompok negeri – negeri miskin di dunia. Laporan Bank dunia terbaru menyebutkan bahwa lebih dari 100 juta penduduk negeri ini berada di bawah garis kemiskinan. Menurut hasil SUSENAS diperkirakan sebanyak 5,7 juta balita (27,3%) mengalami masalah gizi buruk, 8% dari angka tersebut mengalami busung lapar (Kompas 28/5/2006).

Jika kita melihat lebih jauh, persoalan utama penyebab kemiskinan di Indonesia, bukanlah karena sumberdaya alam (SDA) yang kurang, bukan pula karena sumberdaya manusia (SDM) yang kurang. Hal ini karena ternyata kita memiliki SDA yang melimpah. Bangsa inipun juga memiliki SDM yang sebenarnya mampu mengelola kekayaan bangsa. Ternyata kondisi SDA Indonesia yang sangat berlimpah tidak diimbangi dengan pengelolaannya yang optimal oleh pemerintah.

Melihat kenyataan di atas, kaum Muslim perlu segera menentukan langkah untuk melakukan perubahan hakiki dan mendasar. Perubahan yang hakiki adalah perubahan yang dapat menyelesaikan secara tuntas persoalan yang dihadapi bangsa Indoensia. Perubahan semacam itu tidak mungkin tercapai kecuali dengan membangun kesadaran dan kekuatan politik yang menyatukan seluruh potensi SDA maupun SDM bangsa Indoensia.

Sebagai wujud kepedulian kita sebagai mahasiswa terhadap kondisi SDA dan pengelolaannya, dimana mahasiswa sendiri adalah bagian dari masyarakat yang memiliki potensi dan pengaruh khusus, yaitu pengembangan wacana kritis dan melakukan perang pemikiran terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro masyarakat serta kewajiban kita sebagai seorang Muslim, terutama pengelolaan SDA Kawasan Timur Indoensia (KTI) khususnya selain itu memberikan masukan-masukan wacana kritis terkait dengan eksploitasi SDA dengan berbagai pihak terutama Pemerintah Daerah KTI.

Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pengembangan bioenergi dengan menggunakan tanaman Jarak (Jatropha curcas, L) sebagai elternatif pengembangan bahan bakar minyak (bioenergi). Menyikapi keadaan seperti ini kita harus bersikap kritis, jangan sampai pemanfaatan tanaman Jarak sebagai bahan baku pengembangan bioenergi dapat menganggu ketahanan pangan karena terjadi kompetisi pemakaian lahan antara energi dan pangan. Diperlukan pengkajian dan penelitian oleh para akademisi secara mendalam terkait dengan kualitas dan dampak lingkungan yang timbul. Salain itu, secara aktif mengontrol kebijakan pemerintah dengan berpikir secara mendalam dampak yang ditimbulkannya (jika ingin membudidayakan). Sehingga jaminan akan kesejahteraan rakyat dapat terpenuhi (tentunya setelah pemenuhan kebutuhan pangan rakyat terpenuhi).

Pengelolaan SDA yang salah dikarenakan kebijakan pemerintah yang terlalu mudah untuk mengundang investor asing dan investor dalam negeri untuk mengeksplorasi kekayaan alam Indonesia melalui penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), dan manajemen pengelolaan SDA yang lebih berpihak pada para investor tersebut.

Pemerintah berkewajiban mengelola SDA yang besar seperti migas, tambang, hutan ataupun yang lainnya yang menjadi milik rakyat, yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Dengan kata lain, sumber daya alam itu milik rakyat, bukan milik negara apalagi milik swasta baik swasta asing maupun swasta dalam negeri. Kebijakan negara harus selalu memperhatikan kepentingan rakyat. Negara hanya berfungsi sebagai pengelola saja. Karena itu, seharusnya rakyat mendapatkan apa yang dimilikinya, dengan harga yang sesuai dengan biaya pengelolaannya bukan seperti yang terjadi selama ini. Rakyat membeli dengan harga pasar seolah-olah mereka bukan pemilik negeri ini.
Menuju Kemenangan Hakiki

Target puncak dari Ramadhan adalah terbentuknya ketakwaan pada diri kaum Muslim. Idul Fitri adalah hari pertama untuk menerapkan ketakwaan tersebut. Dengan kata lain, Idul Fitri sejatinya merupakan pintu gerbang menuju Kemenangan Hakiki dalam seluruh aspek kehidupan kaum Muslim yang penuh dengan atmosfir ketakwaan. Ketakwaan itu sendiri sejatinya hanya mungkin diraih oleh kaum Muslim ketika Syariat Islam diterapkan secara menyeluruh dalam kehidupan mereka secara Islami dalam wadah Khilafah Muslimiyah.

Karena itu, pada hari yang fitri sudah sepatutnya kita berjanji kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslim untuk mengerahkan segenap upaya, secara damai, demi tegaknya Khilafah dan Syariat Islam. Kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT agar menetapkan kita untuk mewujudkan hal ini sehingga kaum Muslim merasakan apa yang digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya dalam QS Ar-rum ayat 4-5 yang artinya:

“Pada hari (kemenangan) itu bergembiralah orang-orang yang beriman karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”

***

WAKTU DAN TANDA-TANDA KEDATANGAN MALAM LAILATUL QADAR

Dari Ibnu Umar ra, ada beberapa orang sahabat Nabi Saw yang bermimpi bahwa Lailaitul Qadar akan datang pada pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda: "Aku juga melihat ru'yah kalian pada tujuh malam terakhir bulan tersebut. Maka barang siapa yang menginginkannya, dapatkanlah malam tersebut pada tujuh malam terakhir"

Lailatul Qadar mempunyai kedudukan yang istimewa dalam Islam, karena malam tersebut diakui sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam tersebut turunlah para malaikat (termasuk malaikat Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam tersebut akan penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar.

Seperti halnya kematian, malam Lailatul Qadar juga dirahasikan keberadaannya oleh Allah supaya manusia mempergunakan seluruh waktunya untuk beribadah dan mengingatnya dengan tetap mawas diri setiap saat, selalu berbuat kebaikan dan taat kepada Tuhannya.

"Aku juga melihat Lailatul Qadar dalam mimpi seperti kalian yaitu pada tujuh malam terakhir" (dengan mempergunakan kalimat Tawaata'a). Hadis ini bersinggungan dengan sebuah hadis yang berbunyi: "Seseorang telah melihat malam Lailatul Qadar pada tujuh malam terakhir bulan Ramadhan, maka Nabi bersabda: "Dapatkanlah malam mulia itu, pada tujuh malam terakhir" (Dengan mempergunakan kata Ra'a). Riwayat Muslim menyatakan bahwa Lailatul Qadar jatuh pada tujuh malam terakhir sedang riwayat Bukhari ada yang melihat jatuh pada malam ketujuh dan ada yang melihat sepuluh terakhir.

Karena perbedaan kalimat pada kedua hadis tersebut (dalam riwayat Muslim mempergunakan kalimat Tawata'a sedangkan riwayat Bukhori tidak mempergunakan kalimat tersebut), timbullah perbedaan pendapat di antara para ulama dalam menentukan datangnya malam Lailatul Qadar, ada yang mengatakan pada tujuh malam terakhir dan ada juga yang mengatakan sepuluh malam terakhir. Padahal secara tidak langsung bilangan tujuh masuk ke dalam sepuluh, maka Rasulullah pun menentukan bahwa malam Lailatul Qadar jatuh pada tujuh malam terakhir, karena makna Tawaata'a pada hadis yang diriwayatkan Muslim berarti Tawaafuq (sesuai atau sama).

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh di sini adalah tujuh malam terakhir bulan Ramadhan. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ali ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Dapatkanlah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, seandainya kalian kehilangan hari-hari sebelumnya maka jangan sampai kalian melewatkan malam-malam terakhir bulan tersebut"

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra, ia berkata, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: "Dapatkanlah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, apabila kalian merasa lemah atau tidak mampu melaluinya maka jangan sampai kalian kehilangan tujuh malam berikutnya" Dari berbagai versi hadis yang ada, telah terbukti bahwa Lailatul Qadar jatuh pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan.

Sebagian ulama berpendapat bahwa Lailatul Qadar jatuh pada malam dua puluh dua dan paling akhir jatuh pada malam dua puluh delapan, berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Dapatkanlah Lailatul Qadar pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi malam Lailatul Qadar sendiri jatuh pada malam ke sembilan, tujuh dan lima Ramadhan (bilangan ganjil).

Dari riwayat hadis yang berbeda lahirlah pendapat para ulama yang beragam (tidak kurang dari empat puluh pendapat). Malam Lailatul Qadar mempunyai ciri dan keistimewaan tersendiri yang tidak dapat kita kenali kecuali setelah berlalunya malam tersebut. Salah satu ciri atau keistimewaan tersebut adalah; terbitnya matahari seperti biasa akan tetapi memancarkan cahaya redup (tidak bersinar terang seperti biasa), berdasarkan sebuah hadis: dari Zur Bin Hubaisy, ia berkata: "Aku mendengar Ubay Bin Ka'ab berkata: "Barang siapa yang bangun di tengah malam selama satu tahun ia akan mendapatkan Lailatul Qadar" Ayahku berkata: "Demi Allah tidak ada Tuhan selain dia, malam itu terdapat di bulan Ramadhan, demi Tuhan aku mengetahuinya, tapi malam manakah itu? Malam dimana Rasulullah memerintahkan kita untuk bangun untuk beribadah. Malam tersebut adalah malam ke dua puluh tujuh, yang ditandai dengan terbitnya matahari berwarna putih bersih tidak bercahaya seperti biasanya".

Diriwayatkan dari Ibnu Khuzaimah dari hadis Ibnu Abbas: "Ketika Lailatul Qadar pergi meninggalkan, bumi tidak terasa dingin, tidak juga panas, dan matahari terlihat berwarna merah pudar" dan dari Hadits Ahmad: "Pada hari itu tidak terasa panas ataupun dingin, dunia sunyi, dan rembulan bersinar" Dari hadis kedua kita dapat menyimpulkan bahwa ciri-ciri tersebut hanya ada pada waktu malam hari.

Malam Lailatul Qadar bukanlah malam yang penuh dengan bintang yang bersinar (sebagaimana diperkirakan orang) akan tetapi Lailatul Qadar adalah malam yang mempunyai tempat khusus di sisi Allah. Dimana setiap Muslim dianjurkan untuk mengisi malam tersebut dengan ibadah dan mendekatkan diri padanya.

Imam Thabari mengatakan: "Tersembunyinya malam Lailatul Qadar sebagai bukti kebohongan orang yang mengatakan bahwa pada malam itu akan datang ke dalam penglihatan kita sesuatu yang tidak akan pernah kita lihat pada malam-malam yang lain sepanjang Tahun, sehingga tidak semua orang yang beribadah sepanjang tahunnya mendapat Lailatul Qadar" Sedangkan Ibnu Munir mengatakan bahwa tidak sepantasnya kita menghukumi setiap orang dengan bohong, karena semua ciri-ciri tersebut bisa dialami oleh sebagian golongan umat, selayaknya karamah yang Allah berikan untuk sebagian hambanya, karena Nabi sendiri tidak pernah membatasi ciri-ciri yang ada, juga tidak pernah menafikan adanya karamah.

Ia meneruskan: Lailatul Qadar tidak selamanya harus diiringi keajaiban atau kejadian-kejadian aneh, karena Allah lebih mulia kedudukannya untuk membuktikan dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kehendaknya. Sehingga ada yang mendapatkan malam Lailatul Qadar hanya dengan beribadah tanpa melihat adanya keanehan, dan ada sebagian lain yang melihat keanehan tanpa di sertai ibadah, maka penyertaan ibadah tanpa disertai keanehan kedudukannya akan lebih utama di sisi Tuhan.

Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa salah satu ciri datangnya malam Lailatul Qadar adalah melihat segala sesuatu yang ada di bumi ini tertunduk dan sujud ke hadirat-Nya. Sebagian lain mengatakan pada malam itu dunia terang benderang, dimana kita dapat melihat cahaya dimana-mana sampai ke tempat-tempat yang biasanya gelap. Ada juga yang mengatakan orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar dapat mendengar salam dan khutbahnya malaikat, bahkan ada yang mengatakan bahwa salah satu ciri tersebut adalah dikabulkannya do'a orang yang telah diberikannya taufik.