Minggu, 05 April 2009

KETIKA MULIA LAGI BIJAK LEPAS

“Orang mulia tidak akan durhaka kepada Allah dan orang bijak tidak akan mengutamakan dunia daripada akhirat.”(Yahya bin Mu’adz).

oOo

Pengutamaan dunia daripada akhirat dan prilaku maksiat adalah dua hal yang saling berhubungan. Kemuliaan dan kebijakan seseorang ditentukan sejauh mana dirinya mampu menghindari pengutamaan dunia atas akhirat dan prilaku kemaksiatan. Sebab, di dalam diri orang yang lebih mengutamakaan kehidupan dunia atas akhirat tumbuh kecenderungan yang kuat untuk merengkuh kenikmatan dunia dan mereguknya sepuas-puasnya tanpa mempedulikan akibat-akibatnya. Pemuasan kenikmatan dunia yang tidak terkendali hanya akan membiakkan kemaksiatan.

Tumbuhnya sikap lebih mengutamakan dunia atas akhirat dalam diri seseorang bermula dari kecintaannya kepada dunia yang tidak proporsional. “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS, al-Fajr [89]: 20). Akibatnya, di dalam dirinya, terbentuk kecenderungan yang kuat untuk mementingkan urusan duniawi daripada urusan ukhrawi.
Kecenderungan itu kemudian menjadikan jiwanya lelah dikarenakan ia terus-menerus disibukkan oleh dunianya hingga berani meninggalkan kewajiban-kewajiban kemanusiaannya. Bahkan bisa jadi kecenderungannya itu mengkristal hingga membentuk orientasi hidupnya yang sarwa duniawi yang menyebabkan ia dilanda nestapa yang berkepanjangan. Rasulullah Saw bersabda, “Barangsiapa yang pada pagi harinya menjadikan dunia ini kepentingannya yang utama, maka Allah akan melazimkan dalam hatinya tiga macam: (1) kerisauan yang tak putus-putusnya untuk selamanya, (2) kesibukan yang tak ada istirahatnya untuk selamanya, dan (3) rasa kefakiran yang tak ada ujungnya untuk selamanya.”(HR, Abu Laits).

Refleksi orientasi duniawi seseorang dapat diamati pada keinginannya yang berkobar-kobar untuk dapat mereguk kenikmatan dunia sepuas-puasnya. Padahal, menurut Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, seperti diungkap kembali dalam kitab Mawa’izh al-Syaikh ‘Abd al-Qadir al-Jailani, “minuman dan biusan dunia telah memabukkan dan memotong tangan dan kaki orang yang menggandrunginya. Ketika biusnya hilang, barulah ia sadar dan dapat melihat apa yang telah dilakukannya kepada dirinya.”

Demi mereguk kenikmatan dunia sepuas-puasnya manusia menggali dan mengembangkan ilmu pengtetahuan. Penggalain dan pengembangan ilmu pengtetahuan yang dilakukannya antara lain melahirkan teknologi yang dapat dijadikan alat dan sarana untuk merealisasikan kepuasannya dan memudahkan urusan hidupnya.

Seiring dengan kemudahan yang diraihnya, manusia semakin mudah pula melakukan eksploitasi kekayaaan alam hingga dirinya menjadi kaya dalam arti materi dan seolah-olah berkuasa atas dunia akan tetapi sejatinya miskin dan tidak berdaya secara nilai. Secara praktis bahkan ia dikendalikan oleh berbagai bentuk struktur ilmiah-tekno-ekonomis dan dicengkeram oleh komputerisasi yang diciptakannya sendiri. Dalam banyak kasus hal itu telah meneggelamkan kemuliaan kemanusiaan serta memusnahkan kebajikan dan kebijakannya.

Memang, penggalian, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan tekonologi yang tidak
etis akan memuaskan nafsu manusia dalam satu sisi namun di sisi lain menenggelamkan kehidupan dalam lumpur kemaksiatan. Pada kenyataannya, teknologi yang tidak dikendalikan secara etis akan melahirkan kerusakan total terhadap alam dan lingkungan. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”(QS, Rum [30]: 41). Selain itu, dan ini yang lebih parah, dapat menghilangkan hakikat manusia itu sendiri, yaitu fithrahnya yang hanif.

Ketika seseorang telah kehilangan martabat dan kemuliaannya, maka kecenderungan melakukan maksiat dan berbuat dosa semakin tidak akan dapat dibendung. Bahkan kemaksiatan akan menjadi arus utamanya yang menyebabkan dirinya, diluar kemauannya, terdampar di dunia dengan kondisi ketidakberdayaan dan kemerosotan kemanusiaan. Akibatnya eksistensinya tidak autentik lagi disebabkan telah kehilangan kemuliaan dan kebijakannya. Sayyidina Ali Ra berkata, "Barangsiapa yang menyembah dunia dan mengutamakannya di atas akhirat, akan mendapat akibat yang buruk".

Untuk mengatasinya setiap diri harus membuka diri bagi suara hatinya yang paling dalam. Suara hati dapat mengingatkan manusia dari kelalainnya terhadap dirinya sehingga ia kembali menjadi manusia yang sejatinya. Allah Swt mengingatkan, "Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan tidak menginginkan kecuali kehidupan duniawi" (QS, al-Najm [53]: 29). Iman Syafi’i dalam syairnya mengetuk pintu hati manusia agar kembali menyadari hakikat dunia, tempat kita bergumul sementara, “Wahai orang yang gandrung dunia, ingatlah dunia ini tidak kekal. Sore dan pagi dating silih berganti.” Wallahu A’lam.

HARTA DAN AMAL SHALEH


“Kemuliaan dunia itu diperoleh dengan harta sedangkan kemuliaan akhirat diperoleh dengan amal salih.” (Umar bin Khattab)
oOo

Dua alam ciptaan Allah, alam dunia dan alam akhirat, mutlak berbeda dalam karakteristik dan esensi wujudnya. Walaupun begitu setiap manusia pasti memasuki dan bergumul di dalamnya. Tak seorang pun dapat menghindar dari keberadaan di dalam alam dunia dan alam akhirat. Oleh karena kedua alam, baik secara realitas sejatinya ataupun karakteristiknya berbeda, setiap manusia diberikan potensi untuk dapat menyempurnakan eksistensi dirinya di dalam kedua alam tersebut sehingga dapat meraih puncak kesempurnaannya. Meskipun pada kenyataannya sebagian besar manusia justru mengalami kegagalan sebelum merealisasikan kesempurnaannya secara utuh..

Alam dunia, dengan segala watak dan karakteristiknya, adalah sebuah perjalanan sedangkan alam akhirat adalah persinggahan terakhir kita, kampung halaman, dan rumah kita yang abadi. Oleh karena itu meskipun kita dilahirkan di dunia, dan dunia menjadi tempat tinggal kita sekarang ini, namun realitas sejatinya, setidak-tidaknya secara spiritual, sedang berjalan jauh menuju tempat kembali hakiki kita, alam keabadian, alam akhirat. Di sanalah kita akan dihadapkan kepada berbagai peristiwa eskatologis yang belum pernah kita jumpai selama hayat kita.

Di tempat kembali itu masing-masing individu benar-benar akan merasakan sebagai makhluk moral yang harus mempertanggungjawabkan seluruh sepak terjang kita selama di dunia. Di sana pula akan terbukti jati diri kita yang sebenarnya, menjadi individu yang sejatinya terhormat mencapai kebaikan tertinggi atau bahkan menjadi hina dina terjerembab ke dalam lumpur keburukan.

Allah Swt telah menunjuki manusia jalan agar dapat mencapai tempatnya yang layak dalam penciptaan, di surga-Nya. Sebagai manusia bahkan kita diperintahkan agar menempuh jalan-Nya meskipun harus berjalan mendaki lagi sukar. Tidak sepatutnya di dunia yang fana ini menjadi tumpuan hidup. Tidak sepatutnya pula kita bermegah-megah karena tunduk kepada pesonanya dan tidak menjadikannya sebagai medan perjuangan untuk menghimpun aset untuk kembali ke rumah asalnya. ”Maka tidakkah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar?” (QS, al-Balad [90]: 11).

Bukan harta yang akan menjadi aset kehidupan akhirat kita. Bisa jadi harta menjadi simbol kemuliaan dunia. Akan tetapi di balik simbol itu ada nilai tanggungjawab moral yang harus ditunaikan. Dalam satu riwayat dikatakan, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Kemuliaan umur dan waktu lebih bernilai dibandingkan dengan kemuliaan harta.” Bahkan harta bisa memperbudak orang yang mencintainya. Orang yang menjadikan kekayaan harta benda sebagai standar keagungan seseorang akan membenci kematian. Padahal kematian itu adalah pintu pertemuan dengan Allah Swt yang pasti akan diketuk oleh setiap manusia. Bahkan karena cintanya kepada harta ia tidak rela berpisah darinya.

Oleh sebab itu orang-orang berakal mencela dan merendahkan orang yang serakah dalam mengumpulkan harta. Sebaliknya mereka sepakat untuk mengagungkan orang yang bersikap zuhud terhadap harta, tidak mau menumpuk-numpuknya, dan tidak menjadikan dirinya sebagai budak harta. Meski demikian, harta selalu menjadi perburuan demi mendapatkan kemudahan, keberhasilan, kesuksesan, serta mencapai kemuliaan dalam hidup ini. Di zaman sekarang ini mengejar kekayaan dan meraih kekuasaan materi, seolah telah menjadi mindset dan orientasi hidup, sehingga seringkali untuk mendapatkannya orang tidak peduli lagi memikirkan cara yang benar atau tidak, layak atau tidak layak dengan status sosial dan kemanusiaannya.


Padahal Allah menjelaskan bahwa amal salih kitalah aset sejati bagi kehidupan di akhirat nanti. Amal shalih pula yang menjadi kendaraan perjalanan jauh kita menuju haribaan-Nya. Setiap perjalanan, lebih-lebih perjalanan jauh dan menentukan, memerlukan kendaraan dan bekal. Oleh sebab hakikat hidup di dunia adalah sebuah perjalanan jauh menuju alam akhirat dan medan perjuangan meraih kebahagiaan sejati, maka kita harus mampu melintasi segala rintangan yang mungkin terhampar di tengah jalan. Rasulullah Saw mengingatkan, ”Jalan menuju surga itu dipenuhi dengan hal-hal yang tidak diisukai, sedangkan jalan menuju neraka dipenuhi dengan berbagai kenikmatan syahwati.” (HR,