Sabtu, 04 Juli 2009

Berserah diri pada Allah

Puncak dari seluruh perjalanan keagamaan kita ini sebenarnya adalah berserah diri kepada ALLOH. Seluruh tahapan-tahapan kualitas yang pernah kita jalani dalam beragama, muaranya adalah berserah diri kepada ALLOH saja. Hal ini dikemukakan ALLOH di dalam berbagai ayatNya.

QS. An Nisaa : 125
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya di antara kalian, selain orang orang yang berserah diri hanya kepada ALLOH, dan dia selalu berbuat kebajikan…”

Berserah diri adalah tingkatan tertinggi di dalam beragama Islam. Sehingga secara retorika, ALLOH bertanya kepada kita : siapakah yang lebih baik agamanya di antara manusia, kecuali orang-orang yang berserah diri kepada ALLOH? Jawaban atas pertanyaan itu te lah diberikan sendiri olehNya, bahwa yang terbaik adalah berserah diri.

Di ayatNya yang lain, secara tegas ALLOH menempatkan ‘berserah diri’ itu di atas keimanan dan ketakwaan.

QS. Ali Imran (3) : 102
“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kalian dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah kalian mati kecuali dalam keadaan berserah diri (Islam).”

Keimanan adalah langkah awal, dimana seseorang ‘dianjurkan’ untuk memperoleh keyakinan bahwa apa yang akan dia jalani di dalam beragama ini adalah benar dan bermanfaat.

Setelah ia peroleh keyakinan itu, maka ia mesti menjalankan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Sebab beragama ini memang bukan sekadar pengetahuan dan keyakinan saja, melainkan untuk dijalani. Diamalkan. Itulah Takwa : sebuah upaya terus-menerus untuk tetap istidomah di dalam menjalani agama. Ini tidak mudah. Karena itu ALLOH mengatakan di ayat tersebut bertakwalah kalian dengan ’sebenar benarnya’. Dengan upaya yang sangat keras dan sungguh-sungguh.

Dan puncaknya, adalah berserah diri kepada ALLOH semata. Orang yang sudah makan asam garam kehidupan dalam proses peribadatan yang sangat panjang.

Ketika seseorang sudah mencapai tingkatan ‘berserah diri kepada ALLOH’, maka bisa dikatakan dia sudah menemukan hakikat kehidupan. Bahwa segala yang ada ini tenyata bukan miliknya.

Harta yang dia punyai pun sebenarnya bukan miliknya. Karena ternyata, dia tidak pernah bisa menolak kehadiran maupun lenyapnya harta itu ketika sudah waktunya.

Demikian pula istri atau suami, dan keluarga yang dicintainya. Semuanya juga bukan miliknya. Karena suatu ketika, mereka satu per satu akan meninggalkannya.

Kekuasaan, juga tidak pernah ada yang kekal abadi. Kekuasaan yang dia peroleh hari ini, suatu ketika harus dilepasnya pula. Dia dibatasi oleh umur dan kondisi di sekelilingnya.

Bahkan dirinya dan hidupnya. Ternyata, juga bukan miliknya. Dia tidak pernah bisa menghindari sakit, lelah, sedih, gembira dan berbagai masalah yang menghampiri kehidupannya. Bahkan akhirnya, dia tidak pernah bisa melawan proses ketuaan. Suatu ketika dia harus merelakan kehidupannya, meninggalkan dunia yang fana, untuk kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan.

Maka, ujung dari seluruh perjalanan kehidupannya itu, ia menyimpulkan untuk berserah, diri kepada ALLOH saja. la mengakui, bahwa dirinya bukan apa-apa. ALLOH lah yang memiliki dan berkuasa atas segala-galanya di alam semesta.

la letakkan seluruh rasa possessivenya, rasa kepemilikannya terhadap dunia. Dia menata hatinya untuk kembali kepada ALLOH. Berserah diri sepenuh-penuhnya, sebagaimana yang selalu ia ikrarkan dalam setiap shalatnya : “sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku kuserahkan hanya untuk ALLOH semata …”

Kalau sudah demikian adanya, maka sesungguhnya ia telah memperoleh Surga dunia. Dan setelah hari kiamat nanti, ALLOH akan memasukkan orang itu ke dalam Surga yang sesungguhnya. Bukan hanya ‘wilayah Surga’ yang penuh dengan taman-taman indah, mata air mata air yang jernih, buah-buahan yang sedap rasanya, serta berbagai kenikmatan kebendaan. Karena sejak di dunia ia telah terlanjur memperoleh kesimpulan bahwa semua kenikmatan benda itu adalah ’semu belaka’!

‘Kenikmatan Yang Sejati’ telah dia peroleh lewat dzikir-dzikirnya yang panjang kepada ALLOH. Telah dia rasakan saat-saat shalat malam dalam keheningan semesta. Dan telah dia ‘genggam’ dalam seluruh tarikan nafas maupun denyut jantungnya yang selalu membisikkan kalimat-kalimat tauhid : ALLOH … ALLOH … ALLOH …

Tidak ada komentar: